Skema dan Struktur Penjajahan Gaya Baru Secara Non-Militer

Skema dan Struktur Penjajahan Gaya Baru Secara Non-Militer

MAKLUMAT — Mengawali catatan ini, ada pertanyaan menggelitik mesti dijawab, “Saat ini, secara kualitas maupun kuantitas, lebih banyak mana terjadi antara peperangan militer atau perang non-militer (asymmetrical war)?”

Kalau kita bandingkan antara perang militer (konvensional) dengan perang non-militer, maka jawabannya tergantung cara mendefinisikan ‘perang’ itu sendiri dan bagaimana mengukur (kualitas dan kuantitas).

Misalnya: Kuantitas (jumlah kejadian konflik)

Dalam dua dekade ini, perang non-militer jauh lebih sering terjadi dibanding peperangan militer konvensional. Perang non militer mencakup terorisme misalnya, atau trade war, cyber warfare, perang informasi, perang teknologi informsi, perang ekonomi (sanksi, embargo, dll), perang proksi (menggunakan pihak ketiga, misal dukungan ke kelompok milisi, oposisi, dst). Atau bisa juga neocortex war (perang pemikiran), perang budaya (cultur war), dan lain-lain.

Penulis: Ichsanuddin Noorsy. Foto:UI Watch

Uniknya perang non-militer ini, terkadang sulit dikenali bentuknya. Bahkan pihak yang diserbu kerap tidak merasa kalau dirinya tengah diserang. Sebab dinilai ‘wajar-wajar saja’ sebagai efek globalisasi dan/atau dampak kemajuan teknologi.

Konflik seperti ini selain murah, lebih fleksibel, juga sulit dilacak secara langsung ke aktor negara. Sehingga lebih banyak digunakan terutama dituduhkan ke aktor non-negara (non-state actor) atau ke negara yang tidak ingin konfrontasi secara langsung dengan pihak lawan.

Konflik Rusia vs Barat contohnya, kini lebih dominan berlangsung di medan siber, ekonomi, dan disinformasi; atau konflik China vs Taiwan, banyak terjadi dalam bentuk tekanan ekonomi, cyber attack, pengaruh diplomatik.

Lihat bagaimana Amerika (AS) berupaya menundukkan Iran, juga lebih sering dalam bentuk proksi (di Irak, Suriah, Yaman), dan lain-lain sebagainya.

Jadi, dari sisi kuantitas, perang non-militer (asymmetrical) lebih sering terjadi dibanding perang militer alias konvensional.

Baca Juga  Pejabat AS Sebut Trump 'Veto' Rencana Israel Bunuh Ayatollah Ali Khamenei

Sedangkan dari aspek kualitas (skala dampak dan keterlibatan), perang militer kini jarang dijumpai karena dampaknya sangat besar. Ketika peperangan meletus, pasti menimbulkan kerusakan pada infrastruktur secara masif, besarnya korban baik jiwa maupun korban luka-luka. Perang militer juga mampu mengubah tatanan geopolitik global secara signifikan. Misalnya, invasi Rusia ke Ukraina (2022-sekarang); konflik Israel-Hamas (2023-sekarang); invasi AS ke Afghanistan (2001) maupun ke Irak (2003), dan lain-lain. Peperangan militer di dunia saat ini, tak sampai sepuluh peristiwa.

Perlu dicatat, beberapa konflik militer sekarang tidak berdiri tunggal, tetapi bercampur dengan unsur perang non-militer atau asimetris. Ini kerap disebut dengan istilah hybrid war seperti peperangan militer + siber; atau serangan udara + disinformasi; ataupun operasi tempur + sanksi ekonomi, propaganda, dan lain-lain. Ya, perang militer kini tidak berdiri tunggal.

Dari sisi kualitas, perang militer masih punya efek paling dahsyat, meski kerap terjadi bersamaan dengan bentuk-bentuk perang asimetris lainnya. Namun, secara kuantitas perang non-militer jauh lebih banyak, bahkan hampir terjadi setiap hari tanpa mengenal waktu. Bahkan sering justru tanpa disadari pihak-pihak yang menjadi korban (diserang).

Dalam perspektif geopolitik, sebuah peperangan apa pun, duduknya hanya di agenda semata, sedang skema atau tujuan utamanya, tak lain adalah penguasaan (geo) ekonomi negara target. Entah demi emas, minyak, dan gas bumi, atau bahan mineral lainnya. Ini terlihat lebih jelas pada asymmetrical war, karena langsung menukik ke sasaran, daripada perang konvensional yang kerap dikemas dengan istilah demi kepentingan nasional, atau atas nama hegemoni, kedaulatan negara dan lainnya. Padahal tujuannya adalah geoekonomi.

Baca Juga  KBRI Tehran Minta WNI Waspada Serangan Israel

Merujuk judul catatan ini, kita membahas kecenderungan peperangan non-militer yang dijadikan modus penjajahan gaya baru di muka bumi.

Analisis dan mekanisme 7i ala Ichsanuddin Noorsy, misalnya, bisa dipakai untuk membedah struktur penjajahan gaya baru. Mekanisme 7i meliputi invasi, intervensi, infiltrasi, interferensi, indoktrinasi, intimidasi, instability/inflasi dan hasil akhirnya adalah impoverishment (pemiskinan). Hal ini bukan hanya teori, tetapi kerangka kerja analitis yang terbukti secara empiris dalam mendekonstruksi tata kelola global saat ini. Bukti-bukti membuktikan validitasnya

Contoh:

1. Invasi dan Intervensi

Data utang global US$ 150 triliun (BIS) dan syarat-syarat (conditionalities) yang dipaksakan IMF dan Bank Dunia adalah alat invasi modal dan intervensi kebijakan yang paling nyata.

2. Infiltrasi

Penyusupan kader teknokratik yang diindoktrinasi ke dalam jabatan strategis di pemerintahan dan lembaga multilateral, serta infiltrasi pendanaan swasta (Gates Foundation, Open Society, dll) ke dalam badan publik seperti WHO, yang mengalihkan agenda global.

3. Interferensi dan Intimidasi

Ancaman untuk downgrade rating kredit, pelarian modal, dan sanksi finansial yang digunakan untuk menghukum negara yang tidak patuh.

4. Indoktrinasi

Hegemoni ideologi TINA (There Is No Alternative) dan narasi “ilmiah” yang dibangun oleh teknokrat untuk melegitimasi sistem yang berjalan, menyembunyikan fakta bahwa ia dirancang untuk melayani segelintir kepentingan.

5. Instability dan Inflasi

Kebijakan yang didikte dari luar kerap memicu gejolak sosial dan ekonomi di negara penerima, yang kemudian digunakan lagi untuk justifying intervensi lebih lanjut.

6. Improverishment atau Pemiskinan

Ini adalah outcome final. Ya. Pemiskinan sistematis terjadi ketika sumber daya negara dialirkan keluar untuk membayar utang, sementara akses rakyat terhadap layanan dasar dipangkas. Pemiskinan ini makin kokoh ketika para teknokratik yang merasa cerdas cendekian menggulirkan kebijakan finansialisasi. Efek gandanya adakah ketimpangan hidup yang sukar diatasi.

Baca Juga  PBB Desak Akses Kemanusiaan Tanpa Hambatan di Gaza, Israel Terus Tolak Misi Bantuan

Inilah modus baru penjajahan gaya baru di era kini yang mulai terungkap sebagai sebuah sistem kolonial. Dan ini pula peta kekuatan (power mapping) yang akurat melalui beberapa entitas, antara lain:

  • Kreditor Global (melalui BlackRock, Vanguard, dll) dan Filantrokapitalis (melalui Gates Foundation, dll) adalah aktor inti yang memiliki sumber daya;
  • Lembaga Multilateral (IMF, Bank Dunia, WHO, BIS) berfungsi sebagai “casing” atau otoritas yang dilegitimasi untuk menjalankan agenda tersebut;
  • Para Teknokrat yang terindoktrinasi adalah operator yang menjalankan sistem di lapangan seperti layaknya sales promotion girl (SPG)

Dengan demikian, narasi singkat ini menyimpulkan bahwa konflik global hari ini bukan lagi antara Negara Timur melawan Negara Barat, melainkan antara mayoritas umat manusia (rakyat di mana pun) melawan sebuah jaringan oligarki finansial-transnasional yang menggunakan negara dan lembaga multilateral sebagai perisai dan sarana untuk melanggengkan kekuasaan dan akumulasi kapital mereka.

Konflik ini mengkristal saat banyak penduduk di dunia tidak menyadari siapa penguasa Artificial Intelligence (AI), ke mana teknologi ini mengarahkan masyarakat, dan bagaimana ujungnya karena teknologi ini terlibat ketat dengan tautologi secara computing.

Kita belum mendengar dan memahami bagaimana kaum cerdas cendekia mengantisipasi perang hibrida ini.

Di Bumi Pertiwi ini, masih banyak tamu tak diundang, di antara rerumpun kembang sore dan bunga-bunga sedap malam.

MAP 191025, Gd Serpong

*) Penulis: Ichsanuddin Noorsy
Ekonom dan Pengamat Politik Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *