Belajar dari Tiga Raksasa Bioenergi: Peta Jalan Etanol Indonesia Menuju Kedaulatan Energi

Belajar dari Tiga Raksasa Bioenergi: Peta Jalan Etanol Indonesia Menuju Kedaulatan Energi

MAKLUMAT — Dalam situasi krisis iklim global dan ketidakpastian harga minyak dunia, etanol kembali mencuat sebagai bahan bakar alternatif yang menjanjikan. Di berbagai belahan dunia, negara-negara telah membangun model keberhasilan yang berbeda. Brasil mengandalkan tebu, Amerika Serikat bertumpu pada jagung, dan Thailand mengembangkan singkong sebagai sumber energi. Ketiganya menunjukkan bahwa etanol bukan sekadar substitusi bensin, melainkan strategi menuju kemandirian energi. Pertanyaan pentingnya: di mana posisi Indonesia, dan sejauh mana kita belajar dari mereka?

Penulis: Dzulfikar Arifuddin, S.T., M.T. Foto:Dok Pribadi

Ketika pemerintah mulai mendorong penggunaan bahan bakar campuran etanol seperti E5, E10, dan E20, muncul perdebatan mengenai efisiensi teknis, kesiapan infrastruktur, serta dampak terhadap kendaraan lama dan ketahanan pangan. Untuk memahami jalan terbaik, perlu melihat bagaimana tiga negara tersebut membangun ekosistem energi berbasis bioetanol yang konsisten dan produktif.

Etanol (C₂H₅OH) adalah alkohol hasil fermentasi biomassa seperti tebu, jagung, singkong, atau limbah pertanian. Nilai kalorinya memang lebih rendah dari bensin murni, namun memiliki keunggulan strategis karena dapat diproduksi dari sumber lokal, mengurangi ketergantungan impor minyak, serta berkontribusi menekan emisi karbon sektor transportasi. Tantangannya adalah sifat higroskopik yang dapat memicu korosi dan kontaminasi air jika pengelolaannya tidak cermat. Tetapi negara-negara yang berhasil menunjukkan bahwa kendala teknis dapat diatasi dengan kebijakan yang konsisten dan sistem mutu yang kuat.

Brasil adalah contoh paling menonjol. Sejak 1975, melalui program Proálcool, negeri ini menjadikan tebu sebagai bahan baku utama etanol. Berdasarkan data International Energy Agency (IEA, 2024), Brasil memproduksi lebih dari 33 miliar liter etanol per tahun atau sekitar 30 persen dari kebutuhan bahan bakar transportasinya. Keberhasilan mereka terletak pada konsistensi kebijakan lintas pemerintahan selama hampir lima dekade, integrasi erat antara industri gula dan energi, serta keberhasilan menciptakan kendaraan flex-fuel sejak 2003. Mobil jenis ini dapat menggunakan bensin, etanol, atau campuran keduanya. Hasilnya, 94 persen kendaraan ringan baru di Brasil kini bertipe flex-fuel, dan emisi karbon dari sektor transportasi turun hingga 40 persen dibanding penggunaan bensin murni.

Baca Juga  Gaungkan Energi Terbarukan, Muhammadiyah Latih Kader Hijau Lewat ToT Audit Energi

Amerika Serikat menempuh jalur berbeda. Keberhasilan negeri itu bukan semata hasil kampanye energi hijau, tetapi buah efisiensi industri dan inovasi teknologi. Dengan lebih dari 200 fasilitas pengolahan aktif, AS memproduksi sekitar 55 miliar liter etanol per tahun, menjadikannya produsen terbesar di dunia (EIA, 2024). Program Renewable Fuel Standard (RFS) yang diatur oleh Environmental Protection Agency sejak 2005 memastikan adanya volume minimum biofuel dalam pasokan nasional. Kebijakan ini membuka ratusan ribu lapangan kerja dan memperkuat ekonomi pedesaan. Meski menuai kritik karena penggunaan air dan potensi gangguan terhadap pangan, Amerika Serikat terus memperbaiki efisiensi produksi melalui bioteknologi generasi kedua yang memanfaatkan limbah pertanian sebagai bahan baku etanol selulosa.

Sementara itu, Thailand tampil sebagai pelopor bioekonomi di Asia Tenggara. Menurut ASEAN Centre for Energy (2024), negeri gajah putih memproduksi lebih dari dua miliar liter etanol setiap tahun dari singkong dan molase. Pemerintahnya menempatkan bioetanol bukan hanya sebagai pengganti bahan bakar fosil, tetapi juga penggerak ekonomi pedesaan. Melalui Alternative Energy Development Plan (AEDP 2023–2037), Thailand menargetkan 30 persen bauran energi terbarukan pada 2037. Negara ini membangun kawasan industri terpadu atau bio-complex, yang mengolah hasil pertanian menjadi etanol, bahan kimia hijau, pupuk organik, hingga bioplastik. Kebijakan subsidi dan pajak juga diarahkan agar gasohol E20 menjadi bahan bakar utama di SPBU, dengan harga lebih kompetitif daripada E10.

Baca Juga  Terangi Masjid Buya Syafii Maarif, MOSAIC dan Muhammadiyah Resmikan Panel Surya di Sijunjung

Kesamaan dari ketiga negara tersebut adalah tata kelola dan kendali mutu yang disiplin. Proses pencampuran dilakukan di terminal bahan bakar, bukan di SPBU, untuk memastikan homogenitas. Pabrik etanol dilengkapi fasilitas dehidrasi agar kadar air di bawah 0,4 persen. Mereka juga menggunakan paket aditif antikorosi dan sistem pelabelan kendaraan yang kompatibel dengan etanol. Rantai pasok diawasi secara digital untuk menjamin transparansi dan keamanan mutu. Dengan sistem semacam ini, etanol menjadi inovasi yang meningkatkan nilai tambah ekonomi, bukan sumber persoalan baru.

Indonesia memiliki potensi besar untuk mengikuti jejak itu. Bahan baku tersedia melimpah — dari tebu, singkong, sagu, hingga nira aren. Namun, produksi etanol nasional baru sekitar 40 juta liter per tahun dan sebagian besar digunakan untuk industri non-energi. Hambatannya bukan pada sumber daya alam, melainkan pada kebijakan yang belum berkesinambungan dan ekosistem industri yang belum terbangun utuh.

Selama ini, fokus pemerintah lebih tertuju pada biodiesel berbasis sawit (B35), sedangkan bioetanol belum mendapat dukungan kebijakan yang seimbang. Agar kebijakan etanol dapat berjalan efektif, perlu roadmap jangka panjang lintas sektor, mulai dari pertanian hingga energi dan industri. Standar mutu harus ditetapkan dengan ketat, sistem blending dilakukan di terminal, kendaraan dan infrastruktur SPBU perlu disesuaikan dengan material yang tahan etanol, dan pengawasan mutu wajib dilakukan secara konsisten.

Baca Juga  Mendorong Optimalisasi Potensi ZIS untuk Transisi Energi dan Solusi Atas Krisis Iklim

Insentif fiskal bagi investor, produsen, dan petani menjadi bagian penting agar rantai nilai bioetanol menarik secara ekonomi. Pemerintah juga perlu memastikan bahwa pengembangan etanol tidak mengorbankan ketahanan pangan dan kelestarian lingkungan. Di saat yang sama, riset terhadap bahan baku nonpangan seperti sagu dan limbah pertanian harus terus didorong bersama universitas dan industri.

Brasil mengajarkan pentingnya konsistensi dan sinergi lintas sektor. Amerika Serikat menunjukkan bahwa inovasi teknologi dan skala industri mampu menekan biaya produksi. Thailand membuktikan bahwa bioetanol dapat menjadi instrumen pemerataan ekonomi. Dari ketiganya, jelas bahwa keberhasilan energi hijau bukan perkara laboratorium atau slogan, melainkan komitmen kebijakan yang disiplin dan berkelanjutan.

Etanol bukan solusi tunggal, tetapi dapat menjadi kunci dalam membangun kedaulatan energi yang berkelanjutan. Jika Indonesia mampu menggabungkan kekayaan sumber daya alam dengan keberanian kebijakan dan inovasi teknologi, maka bukan tidak mungkin kita akan menjadi pusat bioenergi tropis di Asia Tenggara.

Keberhasilan transisi energi hijau pada akhirnya bukan diukur dari seberapa tinggi oktan bahan bakar, melainkan dari kemampuan bangsa menjaga keseimbangan antara efisiensi, keberlanjutan, dan kedaulatan. Dalam kerangka itu, etanol dapat menjadi jembatan menuju masa depan energi yang berdaulat dan berkeadilan.***

*Artikel ini merupakan hasil kerja sama konten Maklumat.id dengan media Jakartamu.

*) Penulis: Dzulfikar Arifuddin, S.T., M.T.
Wakil Sekretaris Jenderal PP IKA ITS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *