Menteri Keuangan Ini Bernama Asli Katoebin, Artinya: Lahir di Sawah Hari Ahad Legi

Menteri Keuangan Ini Bernama Asli Katoebin, Artinya: Lahir di Sawah Hari Ahad Legi

MAKLUMAT — Angin Ahad Legi, 7 Desember 1932, mendadak gaduh di tengah sawah Desa Ngadirejo. Karmilah, yang sedang bekerja di antara padi menguning, tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Perempuan itu rubuh.

Dia melahirkan seorang bayi laki-laki di sana, di area persawahan Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Kini Desa Ngadirejo masuk wilayah Kecamatan Kepanjen Kidul, Kota Blitar. Sawah itu milik ayahnya sendiri, Toedjo Towinangoen.

Mbah Boerhan, seorang pemuka agama yang kebetulan lewat, membantu proses kelahiran darurat itu. Mereka menamai bayi itu Katoebin. Artinya: lahir di sawah pada hari Minggu.

Tak seorang pun menyangka, bayi laki-laki inilah yang kelak ikut menentukan nasib ekonomi negeri ini.

Katoebin kecil sering sakit-sakitan. Tiga tahun kemudian, keluarga membawanya ke “orang pintar”. Orang itu menyarankan namanya harus berbau perempuan. Akhirnya, nama Katoebin berganti Sumarlin.

Meski sang kakek, Toedjo Towinangoen, terpandang sebagai orang berada dengan sawah luas dan hutan jati, masa kecil Sumarlin tidak mulus. Ia melewati banyak kerikil. Ayahnya, Sapoean Pawirodikromo, bercerai dengan Karmilah saat Sumarlin berusia lima tahun. Sumarlin kecil hidup tanpa kasih utuh orang tua.

Ia sesekali bertandang ke desa sebelah, tempat ayahnya bermukim. Sang ayah kadang memberinya uang bekal. Dengan uang itu, Sumarlin yang kelak memiliki nnama Johannes Baptista (JB)–membeli jajanan kesukaannya: tiwul singkong dan pecel sayur.

Baca Juga  Terkatung di Bandara Soekaro-Hatta, Pemuda Aceh Korban TPPO Akhirnya Dipulangkan Haji Uma

Penyuka Tiwul

Antonius Widyatma, putra ketiga Sumarlin, berkisah bahwa sang ayah masih mengudap tiwul hingga akhir hayatnya. “Saking sukanya, kadang konsumsinya berlebih,” tutur Anton seperti dilansir dari MK+.

Hidup jauh dari ayah menempa Sumarlin tidak kolokan. Dia selalu ikut sang ibu ke sawah. Dia turut membantu pekerjaan Karmilah. Ironisnya, ibunya seorang buta huruf yang hanya bekerja sebagai buruh di sawah milik kakeknya sendiri.

Keluarga petani masa itu masih memegang adat “dapur, sumur, kasur” untuk perempuan. Mereka tidak perlu sekolah. Anak laki-lakilah yang utama mengenyam pendidikan.

Sumarlin tidak menyia-nyiakan keputusan kakeknya yang mengirimnya ke volkschool (sekolah desa). Di Blitar, ia selalu menjuarai kelas. Ia lulusan terbaik dari volkschool Jatimalang dan vervolgschool Desa Sentul. Kepala Sekolah Adi Dirdjomajono bahkan memilih Sumarlin, bocah 10 tahun itu, sebagai Bintang Kelas.

Malam hari, Sumarlin tidur di amben sang kakek. Ia tidak hanya melepas lelah, tapi menantikan wejangan. Kakek Toedjo memakai bahasa sederhana. Sumarlin paham bagaimana harus bersikap.

Aja adigang adigung adiguna. Jangan sok besar, sok hebat, sok jagoan.

Sumarlin, dalam buku Cabe Rawit yang Lahir di Sawah (2012) karya Bondan Winarno, mengakui amben itu adalah moment of truth. Percakapan di pembaringan bambu itu mengubah pendiriannya untuk membahagiakan sang ibu, tidak manja, dan lebih giat belajar.

Baca Juga  Sedulur Khofifah-Emil Bagi-bagi Celemek di Pasar Pacuan Kuda

Sang kakek juga menekankan pentingnya sekolah. “Kalau tak sekolah, kamu mau jadi apa? Lihat pamanmu! Dia bisa jadi pejabat karena sekolahnya tinggi.”

Wejangan itu terbukti. Rumah sang kakek semakin sesak seiring pertambahan penghuni. Sang ibu kemudian memiliki anak dari pernikahan berikutnya. Akhirnya, sang kakek meminta Moekidjam, paman Sumarlin yang tentara, menjemputnya. Sumarlin pindah ke Kediri.

Episode hidupnya di Kediri ia jalani dengan ngenger (menumpang hidup). Anton berkisah, ayahnya harus turut mengerjakan pekerjaan rumah agar dapat terus bersekolah.

Perang Kemerdekaan

Dari Kediri, ia mengikuti sang paman ke Yogyakarta. Perang Kemerdekaan meletus. Sumarlin terpaksa putus sekolah. Di sinilah ia belajar pendidikan gerilya dan akhirnya, atas petunjuk paman, ikut bela negara sebagai tentara pelajar.

Akhir Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Sumarlin harus membuat keputusan besar. Teman-temannya terus mengabdi di jalur militer. Sumarlin sempat goyah.

“Tapi saya menyadari bahwa saya tak punya ‘potongan’ menjadi tentara, saya juga tidak berbakat menjadi tentara karena tidak tahan melihat kekerasan,” katanya.

Ia memutuskan kembali ke bangku kelas dua SMA di Yogyakarta. Pada 1951, ia mengikuti sang paman pindah ke Jakarta.

Di ibu kota, ia tinggal di Jalan Besuki 23, Menteng. Setiap sore, ia mengasuh dua sepupunya yang masih kecil di Taman Suropati.

Anak sawah dari Blitar itu kemudian melanjutkan sekolah ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, meraih master dari Universitas Berkeley, dan menggondol gelar doktor dari Universitas Pittsburgh.

Baca Juga  Gubernur Kalteng Harap Musypimwil Muhammadiyah Lahirkan Gagasan Strategis Tingkatkan Kualitas SDM

Ia tak menyadari bahwa kelak ia akan berkantor di gedung-gedung megah, tak jauh dari taman tempatnya mengasuh sepupu. Ia tidak sekadar berkantor; ia 15 tahun mengabdi sebagai Menteri.

Neil Osborn, Pemimpin Redaksi Euromoney, bahkan menyebut profesor ini satu-satunya menteri keuangan di dunia yang berhasil mengubah struktur ekonomi di negaranya. Osborn memberinya penghargaan Menteri Keuangan Terbaik di Dunia pada 1989.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *