Soal Campuran BBM Etanol, Pakar: Yang Penting Komitmen dan Berkelanjutan

Soal Campuran BBM Etanol, Pakar: Yang Penting Komitmen dan Berkelanjutan

MAKLUMAT — Pakar yang juga dosen Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Prantasi Harmi Tjahjanti SSi MT, menyoroti kebijakan pencampuran bensin di Indonesia dengan 10 persen etanol yang direncanakan mulai diterapkan tahun depan.

Menurutnya, kebijakan tersebut merupakan salah satu langkah besar dalam upaya transisi energi, menuju bahan bakar ramah lingkungan yang diharapkan menjadi titik tolak transformasi industri otomotif dan energi nasional.

Namun, kebijakan tersebut juga memunculkan pertanyaan tentang kesiapan infrastruktur, kendaraan, hingga sektor energi dan pertambangan nasional.

Pakar Umsida, Dr Prantasi Harmi Tjahjanti SSi MT.
Pakar Umsida, Dr Prantasi Harmi Tjahjanti SSi MT.

“Etanol atau alkohol etil adalah senyawa organik yang berasal dari tumbuhan. Senyawa ini mudah terbakar, tidak berwarna, dan memiliki aroma khas,” kata Dr Tasi, sapaan akrabnya.

Ia menegaskan, pencampuran etanol dengan bensin tidak akan mengganggu kendaraan, justru memberikan sejumlah manfaat penting, termasuk menurunkan tingkat emisi karbon yang dihasilkan.

“Jadi bagus saja pencampuran ini karena bisa menurunkan emisi karbon, mengurangi ketergantungan impor BBM, dan juga meningkatkan nilai oktan. Jadi tidak masalah,” jelasnya.

Menurut Dr Tasi, campuran bensin dengan etanol aman dilakukan pada kadar 5 hingga 10 persen (E5–E10). Jika melebihi batas tersebut, barulah berpotensi memengaruhi kinerja mesin dan konsumsi bahan bakar.

Tingkatkan Efisiensi dan Kurangi Emisi

Dr Tasi menjelaskan bahwa etanol memberikan dampak positif terhadap performa kendaraan. Pertama, etanol dapat meningkatkan efisiensi mesin karena mampu menaikkan nilai oktan, sehingga proses pembakaran menjadi lebih sempurna.

Baca Juga  Kawal Putusan Bawaslu Jatim soal Pelanggaran Kondang, JaDI Bakal Temui KPU

Kedua, etanol membantu mengurangi emisi karbon monoksida dan hidrokarbon karena berasal dari bahan alami.

Ketiga, etanol memang dapat meningkatkan konsumsi bahan bakar, sebab energi per liternya lebih rendah dibanding bensin.

Keempat, bahan etanol yang berasal dari alam menjadikannya lebih ramah lingkungan dan termasuk dalam kategori energi terbarukan.

“Jika etanol bisa diolah secara berkelanjutan, maka bisa mengurangi ketergantungan impor minyak bumi,” jelas Dr Tasi.

Selain itu, etanol memiliki panas penguapan lebih tinggi dibanding bensin, yang berarti bisa membantu mendinginkan ruang bakar mesin.

Waspada Risiko Kadar Etanol Terlalu Tinggi

Meski demikian, Dr Tasi juga mengingatkan bahwa kandungan kadar etanol yang berlebihan dapat menimbulkan masalah teknis bagi kendaraan tertentu.

“Kendaraan yang memiliki kadar lebih dari E10 kurang cocok untuk bahan bakar ini karena kendaraan tersebut tidak dirancang untuk campuran etanol tinggi. Jika diteruskan, maka kinerja mesin dan konsumsi bahan bakar akan bermasalah,” paparnya.

Ia juga menyoroti potensi masalah pada mobil-mobil tua yang memiliki banyak komponen logam. Karena etanol bersifat higroskopis (mudah menyerap air), bahan bakar ini bisa menyebabkan korosi pada komponen logam kendaraan.

Selain aspek teknis, Dr Tasi menilai campuran bensin dan etanol tidak serta-merta membuat harga BBM lebih murah, lantaran proses pemurnian etanol yang disebutnya memakan biaya cukup tinggi.

“Kalau bahan bakar ini belum tentu murah karena proses pemurnian etanol yang memakan biaya cukup besar,” sorotnya.

Baca Juga  DAM IMM AR Fakhruddin 2025: Penguatan Ideologi sebagai Basis Gerakan Sosial

Dorong Pertanian dan Energi Berkelanjutan

Lebih lanjut, Dr Tasi menilai keberhasilan kebijakan tersebut bakal berkaitan erat pada kesiapan sektor pertanian nasional, terutama mengingat bahan etanol yang alami.

“Kita butuh lahan yang sangat luas untuk mengembangkan etanol. Inovasi ini juga bisa memakmurkan petani. Yang penting adalah komitmen tentang kontinuitas kebijakan ini,” tandasnya.

Menurut Dr Tasi, dengan persiapan matang dan kebijakan yang berkelanjutan, Indonesia berpotensi besar mengurangi ketergantungan impor minyak bumi, sekaligus meningkatkan kesejahteraan para petani.

*) Penulis: Romadhona S / Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *