MAKLUMAT – Komisi B DPRD Jawa Timur menyoroti kinerja Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Jawa Timur yang dinilai masih menghadapi berbagai persoalan mendasar, meski alokasi anggaran tahun 2026 tetap cukup besar.
Juru Bicara Komisi B DPRD Jatim, Muhammad Mughni, mengungkapkan DKP Jatim menerima alokasi anggaran sebesar Rp189,36 miliar pada APBD Tahun 2026 setelah dilakukan efisiensi. Jumlah itu mengalami penurunan 28,54 persen dari pagu KUA-PPAS Tahun 2026.
“Efektivitas pelaksanaan program DKP menjadi perhatian serius kami. Pengawasan terhadap penggunaan alat tangkap yang dilarang seperti cantrang hingga kini masih lemah dan belum menyentuh akar persoalan di lapangan,” ujar Mughni dalam rapat paripurna DPRD Jatim dengan agenda Raperda tentang APBD Jatim 2026, Senin (3/11/2025).
Ia menjelaskan, penggunaan alat tangkap cantrang masih marak terjadi di berbagai wilayah seperti Sidoarjo, Gresik, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Malang, Madura, dan Lamongan. Akibatnya, terjadi kerusakan ekosistem laut yang parah dan terganggunya rantai makanan laut, yang menurutnya memerlukan waktu 15 hingga 20 tahun untuk pulih kembali.
Selain kerusakan ekosistem, Mughni menyoroti konflik antarnelayan di Pulau Masalembu yang tak kunjung selesai. Konflik tersebut melibatkan nelayan lokal dan nelayan dari daerah lain yang menggunakan cantrang.
“Sudah berkali-kali kelompok nelayan datang dan melakukan audiensi dengan DKP Jatim untuk meminta pembangunan Pos Keamanan Laut Terpadu (Poskamladu), tetapi hingga kini belum terealisasi,” tegasnya.
Menurutnya, kondisi ini menunjukkan pentingnya penguatan pengawasan dan tata kelola aktivitas nelayan di kawasan rawan konflik, tidak hanya di Masalembu, tetapi juga di wilayah lain yang memiliki potensi permasalahan serupa.
Mughni juga menyoroti kesenjangan antara tingginya produksi perikanan tangkap dengan rendahnya kesejahteraan nelayan. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan per September 2025, Nilai Tukar Nelayan (NTN) Jawa Timur hanya mencapai 97,38, masih di bawah angka ideal 100.
“Ironis, Jawa Timur ini provinsi dengan produksi perikanan tangkap tertinggi di Indonesia, tapi belum diikuti peningkatan kesejahteraan nelayan kita,” ujarnya.
Persoalan serupa juga terjadi pada subsektor garam rakyat. Produksi garam di Jawa Timur sangat tergantung pada cuaca, sementara fluktuasi harga kerap membuat petani garam merugi. Industri pun enggan menyerap garam rakyat karena kadar NaCl-nya di bawah 94%, sehingga daya saing garam lokal melemah.
Komisi B berharap, DKP Jatim tidak hanya berfokus pada output administratif, tetapi benar-benar memastikan kebijakan dan program berdampak langsung pada kesejahteraan nelayan, kelestarian ekosistem laut, serta ketahanan ekonomi maritim Jawa Timur.
Sebagai tindak lanjut, Komisi B DPRD Jatim memberikan sejumlah rekomendasi kepada DKP Provinsi Jawa Timur, di antaranya: Mendesak pembangunan Poskamladu di sejumlah titik rawan konflik antarnelayan. Memperkuat fungsi pengawasan terhadap alat tangkap dan penyalahgunaan subsidi BBM. Memastikan program pelindungan dan pemberdayaan nelayan serta pembudi daya ikan berjalan tepat sasaran.
“Meningkatkan produktivitas perikanan rumah tangga secara terarah dan berkelanjutan. Mengoptimalkan pendampingan, pelatihan, dan sertifikasi mutu garam bagi petani garam rakyat,” pungkasnya.