MAKLUMAT — Demam reumatik (DR) dan penyakit jantung reumatik (PJR) masih menjadi ancaman serius bagi anak-anak di Indonesia. Dua penyakit ini kerap berawal dari infeksi tenggorokan biasa yang tak tertangani dengan benar, namun bisa berujung pada kerusakan katup jantung permanen hingga gagal jantung.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A, Subsp Kardio(K), menegaskan bahwa PJR masih menjadi penyebab paling umum. Persoalan ini bisa terjadi pada anak dan remaja di negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Sayangnya, kesadaran masyarakat terhadap bahaya infeksi tenggorokan streptokokus masih rendah. Banyak anak baru dibawa ke rumah sakit ketika katup jantung sudah rusak parah, sehingga penanganannya menjadi lebih rumit dan mahal,” ujarnya.
Berawal dari Infeksi Tenggorokan
Ketua UKK Kardiologi IDAI, Dr. Rizky Adriansyah, M.Ked(Ped), Sp.A, Subsp.Kardio(K), menjelaskan bahwa demam reumatik merupakan reaksi kekebalan tubuh.
Umumnya muncul antara 1–5 minggu setelah infeksi tenggorokan akibat bakteri streptococcus Grup A. Jika tidak segera mendapat penanganan, kondisi ini bisa berkembang menjadi Penyakit Jantung Reumatik.
Gejalanya sering kali tidak disadari. Biasanya muncul nyeri sendi yang berpindah-pindah, ruam kemerahan berbentuk lingkaran, dan sesak napas. Gejala lain jantung berdebar, bengkak pada tungkai, hingga gerakan tubuh tidak terkendali seperti “menari” (khorea sydenham).
Tantangan Penanganan di Indonesia
Indonesia termasuk negara endemis PJR dengan angka kematian 4,8 per 100.000 penduduk, bahkan lebih tinggi dari kematian akibat malaria. Data IDAI tahun 2018 menunjukkan, hanya enam dari sepuluh anak yang bertahan hidup setelah delapan tahun terdiagnosis PJR. Sebagian besar mengalami kerusakan katup yang semakin berat.
“Tantangan penanganan PJR sangat kompleks. Mulai dari rendahnya deteksi dini, ketidakpatuhan pengobatan, hingga kelangkaan Benzatin Penisilin G (BPG) yang menjadi tulang punggung terapi pencegahan,” jelas dr. Rizky.
BPG adalah antibiotik suntik secara rutin setiap 3–4 minggu untuk mencegah kekambuhan Demam Reumatik. Sayangnya, ketersediaannya di fasilitas kesehatan, terutama rumah sakit rujukan, sering kali terbatas.
Pencegahan Jadi Kunci Utama
Menurut IDAI, langkah paling efektif adalah pencegahan, baik primer maupun sekunder. Pencegahan primer bisa dengan mengobati infeksi tenggorokan secara tuntas, menjaga kebersihan diri, tidak berbagi alat makan, dan memperbaiki ventilasi rumah maupun sekolah.
Pencegahan sekunder terhadap anak yang sudah terdiagnosis DR atau PJR, melalui suntikan BPG secara rutin minimal lima tahun atau hingga usia 21 tahun, tergantung tingkat keparahan.
“Dengan sistem rujuk balik yang baik, penyuntikan BPG bisa dilakukan di daerah, baik di rumah sakit maupun puskesmas,” ujar dr. Rizky menambahkan.
Perlu Komitmen Bersama
IDAI menilai, mengatasi beban PJR membutuhkan kolaborasi antara tenaga medis, pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Entitas jua meminta orang tua maupun guru waspada terhadap gejala infeksi tenggorokan serta memastikan kepatuhan anak menjalani pengobatan.
Dr. Rizky juga mendorong pemerintah untuk membentuk program skrining dan registri nasional, serta menjamin pengadaan BPG di seluruh fasilitas kesehatan.
Data WASHActs 2025 menunjukkan, sekitar 1,5 juta anak di Indonesia belum memiliki akses cuci tangan dengan sabun di sekolah, dan 58 persen sekolah belum memiliki sanitasi dasar yang memadai. Kondisi ini memperburuk risiko penyebaran infeksi.
Jaga Jantung Anak, Selamatkan Penerus Bangsa
Ketua IDAI, dr. Piprim, mengajak semua pihak untuk meningkatkan kepedulian. “Mari bersama-sama menjadi bagian dari Sehatkan Jantung Anak Indonesia, Selamatkan Penerus Bangsa,” ujarnya.
Melalui langkah pencegahan, edukasi, dan ketersediaan pengobatan yang memadai, Ikatan Dokter Anak Indonesia berharap beban Penyakit Jantung Reumatik pada anak Indonesia dapat ditekan, dan generasi penerus tumbuh sehat tanpa ancaman penyakit jantung sejak dini.