Dedi Siswoyo Bagikan Pola Pikir Wirausaha dan Kepemimpinan di SKN PP Muhammadiyah

Dedi Siswoyo Bagikan Pola Pikir Wirausaha dan Kepemimpinan di SKN PP Muhammadiyah

MAKLUMAT — Direktur Utama Perumda Pasar Palembang Jaya, Dedi Siswoyo membagikan pola pikir kepemimpinan dalam kewirausahaan perspektif counter-conventional mindset kepada peserta Sekolah Kepemimpinan Nasional (SKN) PP Muhammadiyah. Agenda ini berlangsung di BBPPMPV Seni dan Budaya, Kabupaten Sleman, Senin (17/11/2025).

Dalam perspektif counter-conventional mindset, banyak hal yang tampak bertentangan dengan anggapan umum namun sebenarnya benar. Salah satu contohnya adalah sikap mental bahwa seseorang pemimpin mampu harus mampu mengeksekusi segala peluang.

Dedi menekankan bahwa pemimpin harus memiliki mental yang percaya diri dan mampu mengambil inisiatif. Pemimpin harus yakin bisa mengeksekusi ide agar tidak berhenti pada keraguan dan terus maju untuk mencari solusi

“Sebagai seorang pemimpin masa depan, harus mampu ‘yes I can do this’. Bukan yes yang ABS (asal bapak suka),” ujarnya.

Selain itu, seseorang dalam awal kepemimpinan disarankan melihat lebih jeli pada masalah. Fokus pertama harus pada masalah, bukan pada produk. Artinya, yang lebih penting adalah kemampuan mengutamakan pemahaman dan penyelesaian masalah sebelum memikirkan yang lainnya.

Menurutnya, memahami masalah secara mendalam membuat setiap langkah perbaikan menjadi tepat sasaran. “Kita harus melihat dulu problemnya apa, sebelum membuat perbaikan. Temukan dulu problem di lingkungan sekitarmu,” jelasnya.

Selanjutnya adalah berpikir sempit. Bagi Dedi, banyak orang justru terjebak dalam dorongan untuk selalu berpikir luas sejak awal. Padahal, seorang pemimpin sebaiknya memulai dengan berpikir secara sempit.

Baca Juga  Energi Kepemimpinan: Bahagia Membahagiakan

Dedi memaparkan bahwa sempit bermakna fokus, terarah, dan pada lingkup yang paling dasar. Kemampuan pembacaan medan seperti ini penting dilakukan sebelum memperluas cakupan pemikiran.

Oleh karenanya, bagi Dedi, kepemimpinan harus dibangun dari level yang paling fundamental. Hal ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, ketika tidak sedikit orang mengabaikan prinsip meritokrasi.

Ia mencontohkan bahwa menjadi camat bukan berarti harus menjadi ketua RT. Namun, seseorang yang pernah menjadi ketua RT lalu naik menjadi camat cenderung memiliki fondasi kepemimpinan yang lebih kuat dan lebih baik.

Kemudian, yang tak kalah penting adalah memahami bahwa meminjam ide jauh lebih baik daripada mencuri ide. Meminjam ide dapat memiliki banyak konteks, termasuk kolaborasi. Dalam pandangannya, kolaborasi adalah cara etis dan efektif untuk mengembangkan organisasi yang dipimpin.

Selanjutnya, ada prinsip ’lebih baik minta maaf daripada minta izin’. Maksudnya, seorang pemimpin atau pengambil inisiatif sebaiknya berani bertindak untuk mencapai tujuan, daripada terhambat karena menunggu izin terlebih dahulu. Tindakan tersebut bisa menghasilkan kemajuan yang signifikan, dan jika ada kesalahan, barulah harus berani bertanggung jawab.

”Kita harus bisa berpikir untuk melawan status quo. Sehingga kita bisa menimbulkan sesuatu hal yang baru. Menurut saya, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan itu ajeg,” tandas Dedi.

*) Penulis: M Habib Muzaki / Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *