Menanti Nakhoda Baru Jadi Penentu Arah NU: Tiga Nama Muncul Jelang Muktamar ke-35 di Surabaya

Menanti Nakhoda Baru Jadi Penentu Arah NU: Tiga Nama Muncul Jelang Muktamar ke-35 di Surabaya

MAKLUMAT – Menjelang Muktamar ke-35 Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya tahun 2026, harapan warga Nahdliyin menguat. Mereka menunggu lahirnya pemimpin baru yang mampu membawa NU menapaki abad kedua dengan visi lebih jernih dan strategi yang lebih terukur.

Beberapa tahun terakhir, NU melewati dinamika yang tidak ringan. Karena itu, Muktamar kali ini dianggap bukan sekadar ajang memilih figur, melainkan momen untuk merumuskan arah organisasi Muslim terbesar di Indonesia ini.  Warga Nahdliyin menuntut pemimpin yang sanggup membaca perubahan sosial-politik sekaligus menjaga kultur NU agar tetap menjadi jangkar moral bangsa.

Tiga nama mengemuka sebagai poros perbincangan, yakni Nasaruddin Umar, Zulfa Mustofa, dan Nusron Wahid. Ketiganya mewakili spektrum kepemimpinan yang berbeda sekaligus saling mengisi.

Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia Cirebon, KH Imam Jazuli menegaskan Muktamar NU bukan lagi forum lima tahunan yang hanya memilih ketua umum, tapi sebagai momentum menentukan arah baru organisasi.

“ Warga NU kini tidak sekadar menunggu siapa yang terpilih, tetapi ingin membaca paradigma apa yang akan diusung pemimpin PBNU berikutnya. Dinamika beberapa tahun terakhir membuat kebutuhan kepemimpinan NU semakin kompleks. Muktamar ini bukan lagi kontestasi internal semata,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (18/11).

Ia menegaskan pertaruhan muktamar bukan hanya soal figur. Artinya, ini bukan hanya soal memilih siapa, tapi memilih jalan apa yang akan ditempuh NU ke depan. Tiga nama yang mulai mengemuka sebagai calon Ketua Umum PBNU memiliki arah kepemimpinan yang berbeda.

Baca Juga  Kemensos dan Kemenag Sepakat MoU Sekolah Rakyat, Upaya Entaskan Kemiskinan Lewat Pendidikan

Imam menjelaskan Nasaruddin Umar punya jejaring struktural kuat di pemerintahan karena menjabat sebagai Menteri Agama sejak 2024. Jaringan itu, kata Imam Jazuli, membuat posisinya mendapat perhatian khusus.

“Beliau bukan politisi murni. Beliau itu intelektual yang dibesarkan oleh dukungan politisi,” ungkapnya.

Sedangkan Nusron Wahid, lanjut Imam, memiliki kekuatan kultural di akar rumput. Pengalaman memimpin GP Ansor menjadi modal konsolidasi kader dalam jumlah besar, diperkuat rekam jejaknya di politik nasional.

Di sisi lain, KH Zulfa Mustofa dianggap membawa karakter berbeda. Zulfa sebagai figur kultural dengan kedalaman tradisi keilmuan Islam, sesuatu yang sangat penting di tengah arus globalisasi dan menguatnya konservatisme baru di dunia Islam.

Sementara itu, Wakil Ketua PWNU Jawa Timur, M. Roziqi mengatakan NU membutuhkan pola kaderisasi yang lebih solid, terukur, dan terencana agar organisasi mampu menjawab tantangan zaman. “NU hanya akan memainkan peran besar jika kaderisasinya tertata dengan baik,” ujarnya.

Sejumlah usulan telah disiapkan untuk dibawa ke Muktamar 2026, termasuk pembentukan Komisi Kaderisasi yang bertugas merancang program jenjang kader yang jelas dan mekanisme evaluasi berkala. Rencana lain adalah integrasi Learning Management System (LMS) untuk pemetaan kompetensi kader dan pemantauan perkembangan melalui indikator perilaku serta kapasitas.

Roziqi menekankan  fokus bukan hanya pada struktur formal, tetapi juga pada pengakuan dan pembinaan Non Struktural NU (NSU), yakni para kontributor NU di ranah sosial, pendidikan, dan ekonomi yang selama ini kurang tersentuh program resmi.

Baca Juga  Dorong Transformasi Digital dan Keterbukaan Informasi Publik, Pemkab Sidoarjo Targetkan 318 Website Desa Rampung Tahun Ini
*) Penulis: R Giordano

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *