Amin Abdullah: Kader Muhammadiyah Harus Berfilsafat

Amin Abdullah: Kader Muhammadiyah Harus Berfilsafat

MAKLUMAT — Guru Besar Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Amin Abdullah, menekankan pentingnya kader-kader Muhammadiyah berfilsafat. Menurutnya, adalah corak serta cara berpikir yang mendalam, kritis, inovatif, dan transformatif.

“Sampai sekarang, saya kira banyak orang masih takut terhadap filsafat,” ujarnya dalam Sekolah Kepemimpinan Nasional (SKN) PP Muhammadiyah di BBPPMPV Seni dan Budaya, Sleman, pada Kamis (20/11/2025).

Amin menuturkan, banyak orang menganggap filsafat tidak berguna karena terlalu melangit. Padahal, filsafat lahir dari konteks tertentu. Membaca filsafat berarti memahami kondisi zaman dan latar belakang pemikiran itu muncul. Tanpa memahami konteks, produk pemikiran filsafat akan terlihat tidak relevan.

Ada banyak contoh kegunaan filsafat. Salah satunya adalah kelahiran Muhammadiyah yang merupakan hasil aktivitas berfilsafat. Ia menjelaskan bahwa filsafat yang dimaksud adalah analisis sosial, pendidikan, hingga teologi yang berpadu dan sangat tajam yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan.

Ia menegaskan, menjauhi filsafat sama dengan masuk ke perangkap bunuh diri intelektual. Amin menjelaskan bahwa bunuh diri intelektual ini merupakan istilah dari ulama Pakistan, Fazlur Rahman, yang juga menjadi guru bagi Buya Syafii Maarif dan Amien Rais.

Fazlur Rahman menjelaskan bahwa bunuh diri intelektual terjadi ketika seseorang menolak filsafat atau pemikiran kritis-analitis dalam pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk studi agama dan teologi.

Filsafat merupakan alat intelektual esensial yang harus dikembangkan secara alamiah. Seseorang yang mengabaikannya akan mengalami “kekurangan energi dan kelesuan darah” dalam arti miskin ide segar.

Baca Juga  Nazaruddin Malik: Kerja Pemberdayaan Membutuhkan Akses Politik

Ia juga menyoroti peran filsafat dalam membaca realitas sosial dan sebagai alat interpretasi serta transformasi masyarakat. Filsafat membantu memahami, menganalisis, dan menafsirkan fenomena sosial, kebijakan, dan dinamika masyarakat. Ia berfungsi sebagai fondasi kritis untuk membangun inovasi dan perubahan.

“Filsafat bukan kerangka analisis yang muluk-muluk. Filsafat itu sebenarnya tidak melangit, sebab ia digunakan untuk membaca fenomena sosial, realitas sosial, hingga kebijakan sosial,” tandas Amin Abdullah.

*) Penulis: M Habib Muzaki / Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *