MAKLUMAT – Komisi X DPR RI mengapresiasi langkah Mendikdasmen Abdul Mu’ti yang ingin mewajibkan siswa SD hingga SMA membaca buku, dan menuliskan resensinya. Kebijakan ini dipandang sebagai dorongan penting untuk menghidupkan kembali budaya baca, dan meningkatkan kemampuan literasi di sekolah-sekolah.
Anggota Komisi X Fraksi PKB, Habib Syarif Muhammad menilai kewajiban membaca bukan sekadar tugas tambahan. Membaca dan menulis resensi adalah cara konkret membentuk kemampuan berpikir kritis sejak dini.
“Ini bukan pekerjaan rumah yang dibebankan begitu saja. Ini fondasi penting untuk mencetak pelajar dengan daya analitis yang kuat,” ujarnya di Jakarta, Jumat (21/11).
Namun Habib Syarif mengingatkan program ini tidak akan efektif jika pemerintah belum merapikan ekosistem perbukuan nasional. Akses terhadap buku bermutu masih menjadi persoalan serius, terutama di daerah 3T.
“Minat baca tidak mungkin tumbuh kalau buku berkualitas sulit dijangkau. Banyak sekolah tidak punya perpustakaan layak, harga buku mahal, dan distribusinya tidak merata. Ini harus jadi prioritas pemerintah,” tegasnya.
Ia juga menyoroti tantangan teknis di sekolah. Mulai dari keterbatasan perpustakaan, kesiapan guru mendampingi proses literasi, hingga ketimpangan akses digital untuk buku elektronik.
“Guru perlu dibekali metode memilih buku sesuai usia, cara mendampingi siswa membaca, sampai membimbing proses penulisan resensi. Tanpa itu, program ini hanya berhenti sebagai beban administratif,” tandas dia.
Habib Syarif mendorong pemerintah memberikan insentif bagi penerbit lokal dan menurunkan harga buku anak melalui subsidi. Ia juga menekankan pentingnya memperkuat distribusi buku ke daerah terpencil serta mempercepat digitalisasi perpustakaan melalui platform buku elektronik nasional.
Ia menambahkan upaya membangun budaya baca tidak bisa diserahkan kepada sekolah saja. Peran keluarga dan masyarakat sama pentingnya. Orang tua harus ikut menyediakan waktu membaca bersama anak. Komunitas literasi perlu memperluas gerakan baca dan membuka kelas resensi untuk pelajar.
Mengacu pada praktik negara-negara dengan tingkat literasi tinggi seperti Finlandia, Jepang, dan Korea Selatan, Habib Syarif menegaskan budaya baca hanya bisa tumbuh jika negara berinvestasi pada akses buku, perpustakaan, dan pendampingan literasi yang konsisten.
“Kami mendukung sepenuhnya kebijakan Menteri Abdul Mu’ti. Tapi dukungan itu harus diwujudkan melalui perbaikan ekosistem literasi secara nyata. Kalau akses buku membaik dan guru siap, kewajiban membaca bukan hanya mungkin diterapkan, tapi bisa menjadi tonggak lahirnya generasi dengan kemampuan baca yang unggul,” pungkas dia.