MUI Kritik Pajak Progresif: Tidak Semua Harus Dipajaki

MUI Kritik Pajak Progresif: Tidak Semua Harus Dipajaki

MAKLUMAT — Komisi A (Fatwa) Munas XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) resmi menetapkan lima fatwa baru. Salah satu yang paling menyita perhatian publik adalah Fatwa tentang Pajak Berkeadilan, yang menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni masyarakat tidak selayaknya dikenai pajak secara berulang.

Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI, Prof. KH Asrorun Ni’am Sholeh, menyatakan bahwa fatwa ini hadir menjawab kegelisahan masyarakat atas kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dinilai tak mencerminkan prinsip keadilan. “Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan menjadi solusi untuk perbaikan regulasi,” ujar Prof. Ni’am di sela-sela perhelatan Munas XI MUI di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Ahad (23/11/2025) malam.

Guru Besar Ilmu Fikih UIN Jakarta itu menegaskan, objek pajak yang diperbolehkan menurut syariat adalah harta yang produktif atau termasuk kategori kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat). Karena itu, pungutan pajak terhadap kebutuhan dasar—termasuk sembako, rumah tinggal, serta tanah tempat tinggal—dinilai tidak selaras dengan asas keadilan dan tujuan perpajakan.

“Jadi pungutan pajak terhadap kebutuhan pokok seperti sembako, atau rumah dan bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok itu. Prof. Ni’am menambahkan bahwa dalam perspektif syariat, pajak hanya boleh dibebankan kepada warga negara yang memiliki kemampuan finansial memadai. Ia menganalogikan standar kemampuan itu dengan nishab zakat mal.

Baca Juga  Mendes PDT Ajak IMM Bangun Desa Lewat Kolaborasi Konkret

“Kalau dianalogikan dengan kewajiban zakat, kemampuan finansial secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas. Ini bisa jadi batas PTKP,” ujarnya.

Fatwa ini menjadi salah satu sorotan utama dari gelaran Munas XI MUI, yang secara umum mengangkat tema besar tentang keadilan sosial dan tata kelola kebijakan publik yang lebih berorientasi pada kemaslahatan rakyat.

Ketentuan Hukum Fatwa Pajak Berkeadilan

  1. Negara wajib mengelola seluruh kekayaan negara untuk kemakmuran rakyat.

  2. Jika kekayaan negara tidak cukup membiayai kebutuhan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, negara boleh memungut pajak dengan ketentuan:
    a. Pajak penghasilan hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan finansial minimal setara nishab zakat mal (85 gram emas).
    b. Objek pajak hanya dikenakan pada harta yang produktif atau termasuk kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).
    c. Pajak digunakan untuk kepentingan masyarakat yang membutuhkan dan kepentingan publik secara luas.
    d. Penetapan pajak harus berlandaskan prinsip keadilan.
    e. Pengelolaan pajak harus dilakukan secara amanah, transparan, dan berorientasi pada kemaslahatan umum.

  3. Pajak yang dibayarkan wajib pajak secara syar’i merupakan milik rakyat yang dikelola pemerintah, sehingga harus dikelola secara amanah: jujur, profesional, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.

  4. Barang kebutuhan primer (dharuriyat) tidak boleh dibebani pajak berulang (double tax).

  5. Barang konsumtif yang menjadi kebutuhan pokok, khususnya sembako, tidak boleh dibebani pajak.

  6. Bumi dan bangunan yang dihuni (non-komersial) tidak boleh dikenakan pajak berulang.

  7. Warga negara wajib menaati aturan pajak yang sesuai dengan ketentuan pada angka 2 dan 3.

  8. Pemungutan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut hukumnya haram.

  9. Zakat yang telah dibayarkan umat Islam menjadi pengurang kewajiban pajak (zakat sebagai pengurang pajak).

Baca Juga  Cermati Wajah Politikus Ini, Cantik-cantik Membakar Al-Quran Demi Ambisi Politik

Rekomendasi Fatwa

  1. Untuk mewujudkan perpajakan yang berkeadilan dan merata, beban pajak harus disesuaikan dengan kemampuan wajib pajak (ability to pay). Karena itu perlu peninjauan kembali atas pajak progresif yang dinilai terlalu tinggi.

  2. Pemerintah harus mengoptimalkan pengelolaan sumber kekayaan negara serta menindak mafia pajak demi kesejahteraan masyarakat.

  3. Pemerintah dan DPR wajib mengevaluasi peraturan perundang-undangan perpajakan yang tidak berkeadilan dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.

  4. Kemendagri dan pemerintah daerah perlu mengevaluasi kebijakan PBB, PPN, PPh, PKB, pajak waris, dan berbagai pajak daerah yang sering dinaikkan tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

  5. Pemerintah wajib mengelola pajak dengan prinsip amanah dan menjadikan fatwa ini sebagai pedoman.

  6. Masyarakat wajib menaati pembayaran pajak yang diwajibkan oleh pemerintah jika digunakan untuk kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah).***

 

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *