Lemahnya Sistem Kegawatdaruratan, Pemerintah hingga BPJS Diminta Perbaiki Tata Kelola

Lemahnya Sistem Kegawatdaruratan, Pemerintah hingga BPJS Diminta Perbaiki Tata Kelola

MAKLUMAT — Pakar Manajemen Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr Qurratul Aini SKG MKes, menyoroti soal kasus pasien gawat darurat yang tidak mendapatkan penanganan optimal. Menurutnya, hal itu menunjukkan lemahnya dukungan dan pengawasan sistemik dari pemerintah serta lembaga penyelenggara jaminan kesehatan.

Ia menilai, berbagai pihak terkait belum mampu menjalankan perannya secara maksimal untuk memastikan layanan emergency berjalan sesuai standar keselamatan.

Dr Qurratul Aini SKG MKes.
Dr Qurratul Aini SKG MKes.

Aini menegaskan bahwa pembenahan harus dimulai dari penguatan peran pemerintah daerah selaku penanggung jawab utama penyelenggaraan layanan kesehatan di wilayah masing-masing. Menurutnya, RSUD adalah garda depan rujukan masyarakat sehingga kesiapan sarana, prasarana, dan SDM menjadi tanggung jawab langsung pemerintah kabupaten/kota.

“Pemerintah daerah harus memastikan bahwa setiap RSUD memiliki IGD, ICU, dan tenaga kesehatan yang kompeten dalam layanan gawat darurat,” ujarnya, dilansir dari laman resmi UMY, Rabu (26/11/2025).

“Pengawasan terhadap kinerja rumah sakit juga harus ditegakkan melalui regulasi yang jelas, termasuk kontrak kinerja direktur rumah sakit,” sambung Aini.

Tak cuma itu, Aini juga menyoroti fenomena banyaknya rumah sakit daerah yang dipimpin oleh manajemen tanpa latar belakang medis, sehingga pemahaman terhadap proses klinis kerap tidak cukup kuat dan dapat memengaruhi akurasi pengambilan keputusan.

Lebih jauh, ia juga menilai bahwa kapasitas pemerintah daerah tidak akan efektif tanpa dukungan regulasi dan kontrol dari pusat. Karena itu, peran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dinilai sangat krusial sebagai pengendali mutu nasional untuk memastikan keseragaman standar pelayanan kegawatdaruratan.

Baca Juga  Survei ARCI: Pemilih "Anak Abah" dan PKB Justru Beralih ke Khofifah-Emil

“Kemenkes harus benar-benar menegakkan standar regulasi. Bukan hanya menerbitkan aturan, tetapi memonitor implementasinya,” tandasnya.

“Jika terjadi kasus penolakan pasien seperti sekarang, mereka harus melakukan review dan audit sistem, bukan sekadar mencari pihak yang disalahkan. Investigasi sistemik itu penting agar ada perbaikan yang nyata,” imbuh Aini.

Selain regulasi dan fasilitas, persoalan pembiayaan juga menjadi titik krusial. Ia menilai BPJS Kesehatan perlu melakukan penyesuaian mekanisme klaim agar tidak menghambat keputusan medis. Ketidakpastian klaim, khususnya pada kasus gawat darurat, kerap membuat rumah sakit bersikap defensif karena khawatir menanggung risiko finansial.

“BPJS harus menyederhanakan proses klaim gawat darurat agar rumah sakit tidak ragu menerima kasus berat. BPJS jangan hanya memberi punishment, tetapi harus ada reward bagi rumah sakit yang berhasil meningkatkan indikator keselamatan pasien,” sarannya.

Aini menandaskan bahwa perbaikan sistem kegawatdaruratan wajib dilakukan secara menyeluruh. Selain regulasi dan pembiayaan, penguatan manajemen internal rumah sakit serta kepemimpinan kesehatan (health leadership) menjadi kunci agar pelayanan darurat responsif, cepat, dan aman.

Menurutnya, tanpa penguatan manajemen SDM, koordinasi antarunit, hingga optimalisasi triase, rumah sakit akan tetap kesulitan merespons situasi kritis meski fasilitas dan pembiayaan telah dibenahi.

*) Penulis: Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *