Cermin yang Terbalik: Ketika Tumbler Mengalahkan Isak Tangis Sumatera

Cermin yang Terbalik: Ketika Tumbler Mengalahkan Isak Tangis Sumatera

MAKLUMAT — Kita hidup di zaman yang bising, Tuan dan Puan. Sebuah zaman di mana deru banjir bandang dan runtuhnya perbukitan di kejauhan sana—di Tanah Sumatera—nyaris tak terdengar, tenggelam oleh dering notifikasi dari drama sepele yang terjadi di ruang kereta yang sesak. Sungguh, ini bukan soal botol minum yang hilang. Ini adalah soal cermin kesadaran –generasai terbaik Indonesia hari ini- kita yang terbalik.

Kisah bermula dari sebatang tumbler, sebuah benda penanda gaya hidup kekinian, yang tertinggal di gerbong KRL  Jakarta. Sebuah keteledoran yang mestinya berakhir sebatas keluhan pribadi. Dan di sinilah pelajaran pertama terhampar di hadapan kita, telanjang: Menjaga barang bawaan selama di KRL, atau di mana pun, adalah tanggung jawab penuh seorang penumpang, bukan tanggung jawab kolektif semesta dunia nyata dan maya.

Sebuah kelalaian kecil, alih-alih disikapi dengan perenungan diri, justru dilempar ke ruang publik, menuntut simpati, bahkan menyeret nama orang lain. Niat awal, barangkali, adalah memancing iba. Namun, di era media sosial yang garang, setiap gerak dan kata adalah pedang bermata dua. Drama sepele layaknya sinetron berujung dengan pemecatan. Petugas KRL sempat dipecat sebelum akhirnya dipertimbangkan kembali untuk bertugas. Apalagi yang membuat onar —tentu saja pemilik tumbler–, selain kehilangan tumbler juga kehilangan pekerjaan.

Apa yang terjadi kemudian adalah sebuah ironi yang getir. Meraih simpati karena keteledoran justru menjadi bumerang yang memantul dengan keras. Publik, yang awalnya disuguhi drama kehilangan, tiba-tiba merasa dicurangi oleh alur cerita yang berkelok dan berbau ketidakjujuran. Simpati yang diharapkan berubah menjadi sentimen negatif, menyeret semua yang terlibat ke dalam pusaran amarah virtual.

Baca Juga  Pramono-Rano Raih 50,07 Persen, Syarat Pilkada Jakarta 1 Putaran Terpenuhi

Sebuah kegaduhan yang lahir dari ego, bukan dari bencana. Sementara itu, di balik gemuruh drama sepele ini, alam sedang menghajar Sumatera dengan kejam. Data yang datang dari Sumatera adalah sebuah pisau yang menghujam hati nurani. Data dari AI Google itu kering dan datar ketika dibaca dari layar komputer, namun mampu menumpahkan air mata:

  • Sumatera Utara: 48 jiwa meninggal, 88 hilang, 81 terluka, dan ribuan lainnya mengungsi.

  • Sumatera Barat: 22 orang meninggal, 10 hilang.

  • Aceh: 30 orang meninggal, 16 hilang, lebih dari 20 ribu orang kehilangan rumah dan sandaran.

Inilah data tentang kematian dan kehilangan, tentang nyawa yang terenggut. Angka-angka ini adalah fakta dari bumi yang retak, bumi yang sudah rusak. Namun, mengapa drama tumbler yang tak berharga itu mampu meraih interaksi, dan viralitas yang jauh lebih tinggi ketimbang kabar duka yang maha penting ini?

Tuan dan Puan. Alasannya terletak pada algoritma yang kini mendominasi jiwa kita.

Algoritma media sosial tidak menyukai kesedihan yang hening. Ia menyukai konflik, plot twist, dan drama personal yang memicu amarah atau rasa ingin tahu yang cetek. Berita bencana bersifat statistik—berat, kompleks, dan membuat kita merasa impoten. Sementara, drama tumbler menawarkan narasi yang jelas: tokoh protagonis, konflik pekerjaan, isu ketidakadilan—semuanya dikemas dalam drama ringan yang mudah dikunyah, renyah, dan dibagikan.

Baca Juga  Penyediaan Alat Kontrasepsi untuk Remaja, Upaya Menormalisasi Seks Bebas?

Maka, kita tiba pada sebuah kesimpulan moral yang penting, sebuah tuntutan agar kita kembali merenungi hakikat keberadaan di ruang maya. Tuntutan untuk bijak menggunakan media sosial bukan lagi sekadar etika, melainkan penentu martabat kemanusiaan.

Jika kita terlalu mudah menghabiskan energi emosional untuk memperdebatkan sebuah botol, lantas energi apa yang tersisa untuk memikul duka kolektif akibat bencana di Sumatera? Jika preferensi kita telah bergeser dari berita yang esensial menuju berita yang hanya sensasional, lantas di manakah kepekaan kita sebagai bangsa yang konon menjunjung tinggi persaudaraan?

Kasus tumbler adalah pelajaran tentang dunia yang fana dan tipuan virtual. Bencana alam adalah pelajaran tentang dunia yang sesungguhnya dan tuntutan solidaritas. Keduanya menantang kita untuk bertanya: Apa yang paling berharga bagi kita? Apakah keramaian like dan komentar yang sekejap, ataukah keheningan perenungan tentang nasib saudara sebangsa yang tertimpa musibah?

Di hadapan cermin yang terbalik ini, kita harus memilih. Pilihlah untuk menjadi manusia yang bijak menggunakan media sosial, yang mampu membedakan urgensi sejati dari kegaduhan yang diciptakan. Pilihlah untuk kembali mendengar suara-suara duka yang jauh, sebab di sanalah, di tengah puing-puing kehilangan, kemanusiaan kita yang sesungguhnya sedang diuji.

Kita bisa saja mematikan ponsel sekarang, Tuan dan Puan. Kita bisa menutup laman media sosial, dan drama tentang sebotol tumbler itu akan lenyap. Ia akan menjadi debu digital, terlupakan di antara miliaran unggahan lain yang tak bermakna.

Baca Juga  Popularitas Purbaya Melonjak, Penantang Serius di Bursa Pilpres 2029

Namun, air mata itu—air mata duka keluarga yang kehilangan 48 jiwa di Sumatera Utara, ratapan saudara yang kehilangan 22 orang di Sumatera Barat, kesunyian 30 makam baru di Aceh— tidak akan berhenti hanya karena kita menutup layar handphone. Bencana itu nyata. Kehilangan itu abadi.

Semoga kita bisa membedakan mana itu esensi dan sensasi.****  

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *