Rumah Sakit Masih “Fee for Services,” Sampai Kapan Berpura-pura INA-CBGs Tidak Ada?

Rumah Sakit Masih “Fee for Services,” Sampai Kapan Berpura-pura INA-CBGs Tidak Ada?

(Sebuah Ikhtiar Mendesain Tarif Paket untuk Mendesain Keberlanjutan, Bukan Mendesain Konflik dengan Potong Jasa)

MAKLUMAT — Banyak rumah sakit masih menggunakan konsep tarif biaya untuk layanan (fee for services/FFS), yang berarti seluruh komponen biaya yang dikonsumsi atau dikeluarkan dalam pelayanan terhadap pasien digabungkan menjadi tarif per tindakan. Ditambahkan margin, jadilah tarif. Pasien akan dikenakan tarif lima kali lipat jika menjalani lima kali tindakan yang berbeda, bahkan yang sama namun berulang.

Sistem yang berlaku di banyak rumah sakit tersebut diterapkan juga dalam pembayaran atas jasa yang telah diberikan oleh dokter atau para profesional lainnya dalam melayani pasien BPJS Kesehatan. Penerapan sistem FFS terhadap pasien BPJS Kesehatan akan mencatat biaya yang dikonsumsi oleh pasien bergantung pada jumlah tindakan yang dilakukan. Semakin banyak tindakan yang dilakukan, karena kompleksitas penyakit yang dideritanya, semakin banyak alokasi biaya yang diberikan untuk porsi jasa pelaku atau operatornya.

dr. M. Asro Abdih Y, Sp.U.
dr. M. Asro Abdih Y, Sp.U.

Fakta ini bertentangan dengan model pembiayaan Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs), sistem pengelompokan atau grouping yang berhubungan dengan diagnosis (Diagnosis-related GroupslDRGDRG) versi JKN yang memberi tarif paket tetap untuk setiap diagnosis atau tingkat keparahan tindakan yang dilakukan, berapa pun banyaknya frekuensi tindakan untuk satu episode perawatan.

Ketidaksinkronan ini menimbulkan gap finansial dan distorsi keputusan klinis. Karena pendapatan para profesional pemberi asuhan atau rumah sakit tergantung pada volume intervensi, bukan pada episode perawatan, model FFS secara empiris menyebabkan overuse layanan, pemanjangan waktu tinggal (length of stay/LOS), pemeriksaan penunjang berulang, dan penggunaan sumberdaya yang tidak efisien. FFS dikaitkan dengan penggunaan layanan berlebihan dan pemborosan biaya di fasilitas kesehatan. Sebaliknya pembayaran berbasis DRG berkorelasi dengan penurunan LOS dan biaya per episode perawatan, tanpa bukti konsisten penurunan mutu klinis jika diiringi penerapan clinical pathway dan manajemen paket sumberdaya yang presisi dan terkontrol.

Baca Juga  Berandai‑andai dengan MBG: Mimpi atau Realitas?

Cara Ringkas: Potong Kompas, Potong Jasa

Sayangnya, sejumlah rumah sakit di Indonesia mengatasi gap konsep pembayaran ini hanya dengan memotong komponen jasa/fee profesional: “jika pasien BPJS, jasa dokter,  perawat, atau tenaga profesional lain dipotong sekian persen agar tarif total mendekati plafon.” Praktik ini sekilas terlihat logis, tetapi keliru secara konseptual dan berbahaya secara strategik.

Pertama, inefisiensi layanan di rumah sakit bersifat multidimensional: dipengaruhi variasi keputusan klinis yang tak terkendali, eksekusi atas perencanaan suatu tindakan klinis yang tidak tepat waktu, molor, atau alasan lainnya yang tidak kredibel; penggunaan obat atau bahan medis habis pakai yang tidak mencerminkan keseimbangan cost and benefit, duplikasi pemeriksaan tanpa alasan logis dan rasional, alur proses yang berbelit dan bertele-tele jauh dari konsep lean management, dan inventory berlebih yang berkontribusi pada penggelembungan cost dan waste, bukan semata karena komponen jasa. Jadi, fokus pada pemotongan jasa tidak menyentuh akar pemborosan.

Kedua, bukti penelitian pada pasien BPJS Kesehatan di rumah sakit rujukan di Indonesia memperlihatkan tarif INA-CBGs sering tidak menutup biaya riil pada kasus kronis/kompleks (misalnya stroke, diabetes mellitus, gagal ginjal, penyakit jantung, atau kasus bedah dengan severity level yang tinggi), dan defisit ini muncul lintas komponen biaya (obat, penunjang, operasional, overhead), bukan hanya di komponen jasa. Analisis defisit klaim per pasien di rumah sakit bahkan menunjukkan ketimpangan pembayaran paket INA-CBGs yang terus menekan margin, terutama bila proses operasional dan manajemen biaya rumah sakit tidak terkendali.

Baca Juga  Saat Komunikasi Krisis Kalah Cepat dari Jari Netizen

Ketiga, rumah sakit kontemporer yang berhasil di era pembiayaan berbasis DRG berhasil mengatasi gap finansial dengan menerapkan strategi billing berbasis paket dan perawatan per episode, mengintegrasikan unit cost ke dalam desain paket diagnosis, mengelola tindakan minor secara episodik, dan procurement terpusat yang efisien. Studi efisiensi operasional kamar operasi, suatu unit layanan di rumah sakit dengan alokasi sumberdaya yang paling besar, paling kompleks, dan paling canggih; menunjukkan bahwa ketika rumah sakit mengelola episode layanan dengan pendekatan paket dan clinical pathway yang jelas dan terkontrol, menghasilkan utilisasi peralatan, LOS, dan struktur biaya lebih efisien dan konflik pembiayaan antarunit berkurang.

Keempat, metode pemotongan jasa menyebabkan moral hazard internal: dokter, perawat, dan para profesional lainnya merasa “dirugikan,” padahal pemborosan sistem terjadi karena rumah sakit terus menerapkan logika FFS yang terbatas pada pos jasa, bukan karena mereka sendiri minta dibayar dengan metode FFS. Ini menyebabkan konflik antara manajemen dan klinisi, yang menghambat transformasi yang lebih sistemik.

Ayo Berubah!

Berdasarkan rasionalitas yang dipaparkan di atas, sangat urgent untuk segera mengubah sistem tarif FFS ke sistem tarif internal berbasis paket. Tarif internal tidak dihapus, tetapi diubah menjadi komponen biaya penyusun. Biaya disusun menjadi per paket diagnosis atau per tindakan, per episode perawatan berdasarkan alur klinis dan kebutuhan pasien. Seluruh rencana tatalaksana didefinisikan atau ditetapkan terlebih dulu. Seluruh unit cost untuk seluruh varian diagnosis atau tindakan disusun. Ini berarti bahwa keputusan klinis, penunjang, obat, alur proses, inventory, konsumsi overhead termasuk di dalamnya depresiasi alat secara keseluruhan diatur sebagai satu episode perawatan, untuk satu tindakan; bukan sebagai daftar tindakan terpisah yang masing-masing punya tarif sendiri lantas diagregasikan kemudian komponen jasa dipotong sekian-sekian. Tidak!

Baca Juga  Mengenang Perjuangan Marsinah, Penggerak Buruh Sejahtera

Transformasi sistem tarif paket ini, dari sistem tarif FFS atau sistem internal potong jasa dokter atau profesional lainnya untuk kategori pasien BPJS Kesehatan, sangat mendesak diterapkan, masuk kategori urgent sebagai survival mode di era JKN.

Manfaat berupa kemungkinan keputusan klinis dan manajerial yang konvergen dan sejalan, margin lebih terukur dan predictable, LOS yang lebih efisien per episode, penurunan stok atau pencegahan overstock, penggunaan obat yang rasional, dan konsistensi antara mutu dan biaya. Ini bukan sekadar perbaikan laporan atau perbaikan segmental; ini adalah pergeseran perspektif dari “dibayar per tindakan” menjadi “dibayar per episode,” sehingga pelayanan diatur sebagai satu set diagnosis, satu eksekusi klinis, dengan pengendalian seluruh komponen biaya, dan pengelolaan margin untuk sustainability rumah sakit. Kapan lagi? Ayo!

*) Penulis: dr. M. Asro Abdih Y, Sp.U.
Direktur Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan (RSML)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *