MAKLUMAT – Ancaman serius dan bersejarah kini menggantung di atas Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Presiden Prabowo Subianto dilaporkan telah melayangkan ultimatum keras: instansi kepabeanan itu siap dibekukan jika kinerja dan citra publik mereka tak kunjung membaik.
Ancaman pembekuan ini bukan isapan jempol. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa secara terbuka mengingatkan bahwa Presiden siap mengulang langkah dramatis era Orde Baru dengan mengembalikan fungsi pemeriksaan kepabeanan kepada surveyor swasta internasional seperti Société Générale de Surveillance (SGS). “Kalau kita gagal memperbaiki, nanti 16.000 orang pegawai Bea Cukai dirumahkan,” ujar Purbaya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (27/11/2025).
Titik Krisis Orba: Lahirnya Inpres 4/1985
Secara historis, pembekuan Bea Cukai memang pernah terjadi dan menjadi babak penting dalam sejarah ekonomi Indonesia. Periode pertengahan 1980-an, pelabuhan di Indonesia terkenal sangat korup. Penyelundupan dan penyelewengan oleh oknum DJBC sudah menjadi rahasia umum.
Keluhan memuncak dari kalangan pengusaha, termasuk pengusaha Jepang, yang menyebut aparat Bea Cukai ribet, berbelit-belit, dan doyan pungutan liar (pungli). Masalah ini dinilai telah menjadi masalah keamanan dan stabilitas ekonomi nasional hingga sampai ke meja Presiden Soeharto.
Pada 4 April 1985, Soeharto seperti dikutip laman Bisnis, mengambil langkah shock therapy dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 (Inpres 4/1985). Beleid ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kelancaran arus barang—terutama ekspor non-migas—adalah unsur penting peningkatan kegiatan ekonomi.
Dampak Inpres 4/1985:
-
Wewenang Dipangkas Total: Soeharto memangkas sebagian besar kewenangan Bea Cukai dalam memeriksa barang impor.
-
SGS Ambil Alih: Pemerintah menunjuk Société Générale de Surveillance (SGS), perusahaan surveyor swasta asal Swiss, untuk mengambil alih tugas pemeriksaan fisik barang secara total.
-
Bea Cukai Dirumahkan: Ribuan pegawai Bea Cukai tidak diizinkan bekerja di pos-pos pelayanan, karena fungsinya telah dilimpahkan.
Reformasi Bertahap: LPS-I ‘Dokumen Sakti’
Enam tahun berselang, kebijakan drastis itu dievaluasi. Pemerintah menilai Inpres 4/1985 sukses memperlancar arus barang. Namun, pada 25 Juli 1991, Presiden Soeharto menandatangani Inpres No. 3/1991, yang secara tegas menyatakan Inpres 4/1985 tidak berlaku lagi.
Meski kewenangan pemeriksaan dikembalikan ke DJBC, sistem pengawasan tidak serta-merta kembali ke era pra-1985. Pemerintah menerapkan sistem pengawasan berlapis menggunakan jasa Surveyor, melibatkan PT Surveyor Indonesia (PT SI) bekerja sama dengan SGS.
Barang impor hanya diizinkan masuk ke wilayah pabean jika dilengkapi Laporan Pemeriksaan Surveyor Impor (LPS-I) yang diterbitkan oleh Surveyor di negara asal. LPS-I inilah yang menjadi ‘dokumen sakti’ bagi Bea Cukai. “Bea Cukai menggunakan LPS-I sebagai dasar pemeriksaan yang bersifat final… petugas di pelabuhan Indonesia tidak lagi memeriksa fisik barang secara acak, melainkan hanya melakukan pencocokan dokumen alias hanya ‘memberi stempel’.”
Kewenangan penuh baru dikembalikan kepada DJBC pada 1 April 1997, setelah Undang-Undang No. 10/1995 tentang Kepabeanan diberlakukan efektif, mengakhiri kontrak dengan SGS.
Purbaya Pasang Badan: Waktu Setahun dan Senjata AI
Menkeu Purbaya mengakui bahwa saat ini persepsi publik terhadap DJBC berada di titik kritis, bahkan di mata Presiden Prabowo. Di tengah ancaman pembekuan tersebut, Purbaya mengaku telah memasang badan dan meminta tenggat waktu satu tahun kepada Presiden Prabowo untuk melakukan bersih-bersih internal secara mandiri. “Saya sudah minta waktu keberhasilannya satu tahun untuk tidak diganggu dulu. Biarkan saya, beri waktu saya untuk memperbaiki Bea Cukai, karena ancaman ini serius,” tegasnya.
Sebagai langkah perbaikan, Kemenkeu kini mengadopsi teknologi canggih. Purbaya sedang fokus memasang Artificial Intelligence (AI) di pos-pos pelayanan. Teknologi ini difokuskan untuk mendeteksi praktik under-invoicing atau manipulasi faktur harga barang impor yang selama ini menjadi celah kebocoran penerimaan negara.
Purbaya meyakini, SDM DJBC memiliki kapasitas untuk berubah. “Saya pikir tahun depan sudah aman. Artinya, Bea Cukai akan bisa bekerja dengan baik dan profesional. Orang Bea Cukai pintar-pintar dan siap untuk merubah keadaan,” tutupnya, berharap tidak ada lagi sejarah kelam yang terulang.***