MAKLUMAT — Konflik internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memasuki babak baru. Kantor Akuntan Publik Gatot Permadi, Azwir, dan Abimail (GPAA) resmi mengundurkan diri sebagai auditor tata kelola keuangan PBNU pada Selasa, 2 Desember 2025.
Sekretaris Jenderal PBNU, Amin Said Husni menegaskan GPAA mundur karena tidak ingin terseret lebih jauh dalam polemik yang memecah kepengurusan. Menurut dia, draf hasil audit yang belum rampung itu dijadikan alat untuk menggiring opini seolah terjadi skandal besar di tubuh PBNU.
“Mereka merasa rugi karena draf audit yang belum selesai sudah beredar, dipelintir, dan diarahkan pada kesimpulan tertentu. Itu yang membuat mereka tidak tahan. Situasi ini menjadikan GPAA merasa dipolitisasi. Mereka tidak mau ikut terseret dalam konflik internal,” kata Amin di kantor PBNU, Jakarta.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Najib Azca menolak anggapan bahwa dana Rp 100 miliar itu merupakan pencucian uang. “ Tidak ada dasar hukum yang menyatakan Maming sebagai pelaku TPPU. Tidak ada putusan pengadilan. Tuduhan TPPU sebagai alasan memecat Yahya juga tidak valid,” tegas Najib.
Najib menambahkan Syuriah menggunakan laporan yang belum final. “Audit belum selesai. Bagaimana mungkin keputusan strategis lahir dari data yang belum lengkap?” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (3/12)
Sebelumnya diinformasikan maklumat.id , draf audit GPAA menjadi salah satu rujukan Syuriah PBNU saat menggulirkan keputusan melengserkan Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dari posisi Ketua Umum. Selain isu kedekatan Yahya dengan Israel, Syuriah menyoroti temuan potensi transaksi mencurigakan.
Draf itu mencatat adanya aliran dana senilai Rp 100 miliar dari PT Batulicin Enam Sembilan, perusahaan milik Mardani H. Maming, mantan Bendahara Umum PBNU yang saat itu tengah berproses hukum di KPK. Temuan ini kemudian digiring menjadi dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Pengunduran diri GPAA menambah panjang daftar gejolak internal, yang dikhawatirkan menjadi bumerang politik di tubuh NU dalam beberapa pekan terakhir. Serangan narasi, pembentukan kubu, hingga isu kedekatan elite dengan kelompok tambang semakin memperkeruh situasi.
Proses audit yang seharusnya menjadi alat perbaikan tata kelola justru berubah menjadi pemicu eskalasi konflik di organisasi Islam terbesar di Indonesia itu.
Di tengah situasi memanas ini, kubu Yahya Staquf menegaskan Muktamar PBNU tetap harus digelar sesuai jadwal pada 2027, bukan dipercepat. Sebaliknya, sebagian elite menginginkan restrukturisasi lebih cepat untuk “menyelamatkan” organisasi.***