Riak di PBNU dan Jalan Teduh Merawat NU: Catatan Seorang Jurnalis Pos Liputan di PWNU Jawa Timur  (1998–2009)

Riak di PBNU dan Jalan Teduh Merawat NU: Catatan Seorang Jurnalis Pos Liputan di PWNU Jawa Timur  (1998–2009)

MAKLUMAT — Hampir dua dekade saya (saat itu Jurnalis Harian Republika Biro Jawa Timur) harus meninggalkan rutinitas meliput kegiatan di Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur maupun kedatangan para petinggi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Surabaya. Ini karena saya diamanahi menjadi Senior News Producer di KompasTV Biro Jawa Timur pada Oktober 2009 hingga purna tugas Juni 2025— saat ini saya diamanahi menjadi Redaktur Senior portal berita maklumat.id (salah satu media official PW Muhammadiyah Jawa Timur yang sudah Terverifikasi Dewan Pers).

Namun ingatan saya pada suasana sejuk para kiai, senyum ramah para pengurus, dan aroma kopi di ruang-ruang rapat NU (kantor PWNU Jawa Timur di Jalan Raya Darmo Surabaya hingga pindah di Jalan Masjid Al Akbar Timur Surabaya) belum pernah benar-benar hilang. Dari sekitar tahun 1998  hingga 2009, saya seakan tumbuh bersama denyut organisasi ini, melihat langsung bagaimana para masyayikh membangun keteduhan di tengah perbedaan.

Karena itu, ketika saya menyimak dinamika PBNU beberapa waktu terakhir, mulai dari saling mencopot jabatan (KH Yahya Cholil Staquf dicopot dari Ketum PBNU dan Saifullah Yusuf dicopot dari Sekjen PBNU), tudingan terkait kedekatan dengan pihak asing seperti zionisme, silang pendapat terkait bisnis tambang, hingga polemik dana Rp100 miliar yang ditengarai terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)—ada rasa tak percaya yang sulit disembunyikan.

Baca Juga  Anggota DPRD Jatim Desak Perbaikan Jalan di Jalur Tengkorak Madura Sebelum Arus Mudik

NU yang dulu saya lihat sebagai telaga bening, kini tampak seperti air yang keruh karena riaknya terlalu besar. Namun dari pengalaman panjang meliput para kiai, saya tahu air yang keruh tidak selamanya keruh. Ia akan kembali jernih selama mata airnya dijaga.

Dalam tubuh organisasi sebesar NU, dinamika semacam ini bukan hal baru. Di masa saya sering hadir meliput atau hanya sekadar berkunjung ke kantor PWNU Jawa Timur di Jalan Raya Darmo Surabaya bersama Mas Ainur Rofiq Shopian (saat itu Jurnalis The Jakarta Post dan kini Pimred Majalah Matan), beberapa perbedaan keras juga pernah muncul. Bedanya, para kiai saat itu selalu memilih meredakan, bukan meruncingkan.

Setiap ada masalah, mereka duduk bersama. Tidak ada emosi membuncah. Tidak ada yang merasa paling benar. Marah, tentu saja. Ekpresi itu manusiawi, namun masih bisa diredam, dan satu sama lain saling meneduhkan. Kalau pun ada masalah besar, mereka menjaga agar diselesaikan di internal secara elegan, sebelum disampaikan melalui konferensi pers dengan awak media.

Dari sinilah saya belajar bahwa NU tidak akan runtuh oleh konflik, tetapi bisa sangat rapuh bila kehilangan adab. Apa yang terjadi di PBNU hari ini sebenarnya bisa menjadi titik balik NU bila disikapi dengan kearifan.

 

Isu Zionis, Tambang, hingga TPPU: Perlu Kedewasaan Moral

Baca Juga  Waketum PBNU Serukan Islah: Stop Polemik, Fokus Tuntaskan Amanah Muktamar

Di luar sana, isu-isu ini membesar karena suasana sudah panas. Padahal dalam tradisi NU, klarifikasi dan musyawarah selalu lebih utama dari penghakiman. Para kiai tidak suka tergesa-gesa menyimpulkan tanpa menimbang.

Saya percaya, kedekatan dengan pihak mana pun harus dibaca dengan jernih. Bisnis tambang harus dibicarakan secara etis, bukan emosional. Sedangkan isu dana Rp100 miliar harus diarahkan pada akuntabilitas organisasi, bukan saling menyerang.

 

NU Harus Tetap Memakai Nalar, Bukan Narasi.

Pelajaran yang bisa saya ambil selama pos liputan satu dekade lebih (1998-2009) di organisasi terbesar di Indonesia ini, di antaranya:

-NU Kuat Karena Silaturahminya. Banyak masalah selesai bukan karena rapat resmi, tapi karena sowan ke kiai.

-Perbedaan Tidak Dibawa ke Media. Kiai di Jatim saat itu menjaga marwah organisasi dengan menahan diri.

-NU harus terhindar dari kepentingan sempit. Tambang, dana besar—semuanya harus dibahas dengan orientasi umat.

-Jangan mencopot untuk menghukum. Rotasi seharusnya menjadi ruang dialog, bukan alat tekanan.

-Khittah tidak cukup diucapkan, tapi harus diperagakan dalam perilaku.

Menurut saya pribadi, solusi merawat NU bisa dengan berbagai cara, di antaranya PBNU menggelar Majelis Islah. Ruang teduh tanpa kamera: tempat luka dijahit, bukan dibuka. Selanjutnya akuntabilitas tanpa nada menghakimi, sehingga audit berjalan, dan adab tetap dijaga. Kemudian melakukan transparansi sebagai penjernih, dan keterbukaan demi mencegah fitnah. Yang tak kalah penting, peran para kiai sepuh diaktifkan karena mereka penuntun moral NU.

Baca Juga  Lirboyo Ambil Sikap Tegas: Alumni Wajib Netral di Tengah Memanasnya Konflik PBNU

 

NU Adalah Rumah Besar Kita

Saya tahu NU terlalu berharga untuk dibiarkan retak. NU adalah doa para kiai, keringat para guru ngaji, harapan para santri, dan ketenangan umat yang membutuhkan peneduh di tengah panasnya suasana. Konflik PBNU hari ini hanyalah riak, bukan badai. Dan riak akan jernih kembali, selama mata airnya dijaga. Mata air itu bernama adab, silaturahmi, dan keikhlasan.

Namun kita juga harus jujur,  riak bisa berubah menjadi gelombang besar bila dibiarkan, adab diabaikan, tali komunikasi putus, dan bila kepentingan pribadi ditempatkan di atas maslahat umat.

Jika NU tidak dirawat, yang pertama terluka bukanlah struktur organisasi, melainkan kepercayaan publik. Dan ketika kepercayaan publik retak, sulit sekali mengembalikannya seperti semula.

Karena itu, merawat NU bukan sekadar tugas pengurus PBNU atau pengurus wilayah, tetapi tugas seluruh keluarga besar NU untuk memastikan rumah besar ini tetap teduh, tetap kokoh, dan tetap menjadi tempat pulang bagi siapa pun yang mencari kesejukan.

Semoga Allah menjaga NU, menjaga para kiai, dan menjaga hati kita agar tetap lapang serta tidak alpa merawat warisan para pendiri.

*) Penulis: Rista Erfiana Giordano Ridwan
Divisi Humas Lembaga Hikmah & Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Jatim, Redaktur Senior maklumat.id dan Anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jatim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *