Muhammadiyah: Apakah Sejahtera Sama Dengan Kaya?

Muhammadiyah: Apakah Sejahtera Sama Dengan Kaya?

MAKLUMAT — Kesejahteraan adalah topik yang segar dalam studi Islam, meski tidak baru. Apakah sejahtera sama dengan kaya, sehingga pilihannya mengerucut menjadi apakah orang harus hidup serba berada seperti Usman, atau harus hidup serba terbatas seperti Abu Dzar? Ada yang menganggap Rasulullah itu kaya raya, tapi bila benar, kenapa gaya hidupnya bahkan terasa nestapa? Atau jangan-jangan sejahtera adalah persoalan yang jauh melampaui soal-soal individu seperti kaya atau asketis? Apa itu kesejahteraan menurut Islam, dan pada gilirannya, apakah organisasi Islam representasi Indonesia seperti Muhammadiyah telah tepat memaknainya?

Penulis: AS Rosyid.
Penulis: AS Rosyid.

Tulisan ini adalah kritik terhadap teologi kesejahteraan Muhammadiyah yang ditulis oleh saudara Azaki Khoirudin dan belakangan dimuat di situs resmi Muhammadiyah. Teologi itu dinamakan teologi al-‘Ashr. Sayangnya, saya tidak melihat uraian imajinatif yang mendalam pada tulisan tersebut, selain sekadar justifikasi Islam atas tak lebih dari sekadar kapitalisme. Tidak ada tawaran terkait bentuk-bentuk kesejahteraan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dunia hari ini di tengah gempuran tanda-tanda krisis iklim sekaligus krisis sosial-politik.

Teologi Kesejahteraan Muhammadiyah: Imaji Serba-Kapital

Mulanya, teologi al-‘Ashr dipahami oleh warga Muhammadiyah sebagai dasar dari tirakat kedisiplinan untuk memanfaatkan sebaik-baiknya waktu untuk beramal saleh. Intinya, “iman” (tekun beribadah) saja tidak cukup; diperlukan juga amal saleh (sikap aktif bersumbangsih pada kehidupan sekitar). Ini etos privat sekaligus publik yang harus tertancap kuat dalam pribadi orang Muhammadiyah. Dalam pada itu, teologi al-Ma’un dirumuskan untuk memperjelas dimensi “sumbangsih” tersebut.

Teologi al-Ma’un memiliki dua nyawa. Pertama, keberpihakan yang jelas kepada kaum lemah dan dilemahkan; kata “dilemahkan” (mustadh’afin) yang digunakan Muhammadiyah menandakan adanya lompatan berpikir yang cukup kritis, bahwa persoalan kemiskinan dan kebodohan yang mereka hadapi di sekitar bersifat sistemik sehingga amal saleh yang diikhtiarkan untuk mengentaskan itu tidak boleh berskala perorangan.

Kedua, distribusi kesejahteraan. Untuk turut menyejahterakan kaum mustadh’afin diperlukan cara-cara kreatif yang bisa “memaksa” pihak-pihak dengan “kekayaan yang menumpuk” menyalurkan penumpukan itu agar orang miskin dapat menikmati kesempatan meningkatkan taraf hidup, utamanya melalui akses pendidikan dan kesehatan yang layak dan terjangkau.

Dari dua nyawa al-Ma’un itulah lahir konsep amal usaha berupa lembaga pendidikan, rumah sakit, dsb.

Dalam teologi al-‘Ashr versi-baru, urutan berpikir di atas dicerabut. Teologi al-‘Ashr dan teologi al-Ma’un tetap diakui sebagai gandengan yang niscaya, tapi keduanya juga diletakkan bersilangan: al-Ma’un diimajikan berkarakter sosialis yang sinis pada kelompok elit kuat seperti oligarki, sedangkan al-‘Ashr diimajikan berkarakter kapitalis-religius yang justru ingin jadi oligarki-baik untuk menandingi oligarki-jahat (ungkapan yang indah: “Muhammadiyah ingin menjadi naga kesepuluh”). Bahkan tulisan itu tampak berusaha membingkaikan (framing) teologi al-Ma’un sebagai prinsip yang ketinggalan jaman, keras, dan tidak sesuai visi KH. Ahmad Dahlan.

Saya membatin, imaji macam apa itu? Bukankah narasi ini tampak sekali seperti dibuat-buat untuk membenarkan posisi politik Muhammadiyah saat ini, yang dekat dengan kekuasaan, dan kemarin dulu tidak menolak kalau diberi konsensi tambang? Sekaligus, narasi untuk menyudutkan kelompok pegiat lingkungan hidup dalam Muhammadiyah yang kemarin getol menolak tambang? Tidak saya sangka, ternyata kebutuhan untuk “menjadi naga kesepuluh” dapat membenarkan penafsiran yang semena-mena terhadap al-‘Ashr dan al-Ma’un.

Sehemat pembacaan saya, teologi al-‘Ashr versi-baru terlalu dipaksakan islami padahal logikanya murni pemusatan kekayaan (yang pada akhirnya, pemusatan kekuasaan). Amal usaha Muhammadiyah pada gilirannya juga diubah menjadi pusat gravitasi seluruh konsep kesejahteraan, dengan sebuah mesin logika tunggal, yakni kapitalisme. Ini berlawanan dengan spirit amal usaha pendiri Muhammadiyah.

Dulu, Kiai Dahlan mendirikan sekolah sebagai wadah kerja bagi amal saleh (al-‘Ashr) sekaligus wadah untuk mendistribusikan kesejahteraan (al-Ma’un). Bentuk wadah itu adalah organisasi, agar kerja-kerja itu lebih terorganisir. Di sana, mustadh’afin disekolahkan, tapi agar sekolah dapat beroperasi tanpa membebani mustadh’afin (yang sedang diusahakan akses kesejahteraannya), diperlukan subsidi dari usaha lain. Kiai Dahlan mengusahakan banyak hal, termasuk menyubsidi sekolah dengan sebagian keuntungan dari usaha batiknya. Saat subsidi itu kurang, Kiai Dahlan menjual barang-barang di rumahnya, meski pada akhirnya inisiatif itu berubah jadi crowdfunding. “Distribusi kesejahteraan” terasa jelas pada operasional amal usaha era awal, dan bentuk-bentuknya terus berkembang secara kreatif dari masa ke masa demi menaklukkan berbagai tantangan lokal. Satu yang tidak boleh berubah adalah spirit bahwa amal usaha harus menjadi ruang aman, akses yang mudah dan terjangkau, serta sarana transformasi sumber daya manusia yang progresif.

Baca Juga  Menteri ATR/BPN Nusron Wahid Kunjungi PP Muhammadiyah, Bahas Isu Tanah

Apakah semangat itu masih ada sekarang? Tentu. Banyak sekali anak tidak mampu dari pelosok Indonesia yang akhirnya mencapai peningkatan taraf hidup karena beasiswa Muhammadiyah. Kisah sukses itu harus diapresiasi. Namun, kritik terhadap amal usaha yang melenceng dari spirit aslinya karena menunjukkan gejala lebih serius melakukan penguatan aset institusi alih-alih distribusi kesejahteraan juga bukan kritik baru; banyak orang melontarkannya. Dengan hadirnya teologi al-‘Ashr versi-baru, apa yang dikritik dari amal usaha malah dapat dianggap mandat Islam.

Amal usaha Muhammadiyah memang tidak sedikit. Ada sekolah, rumah sakit, panti sosial, universitas, dan unit-unit usaha modern lainnya dengan valuasi aset sebesar hampir 500 triliun. Tentu saja amal usaha sebesar itu harus bertahan dengan prinsip efisiensi, akumulasi modal, dan ekspansi. Sekolah-sekolah Muhammadiyah mungkin perlu memungut biaya tinggi. Rumah sakit Muhammadiyah mungkin akan beroperasi dengan tarif yang kurang terjangkau oleh rakyat biasa. Hal ini sering dianggap sebagai konsekuensi dari bisnis yang menuntut surplus. Dengan kata lain, semakin besar Muhammadiyah tumbuh, semakin dalam ia terhisap ke dalam logika ekonomi ala industri jasa modern.

Apakah keadaan ini merupakan kondisi yang berkembang belakangan, atau sudah dianut sebagai keyakinan teologis jauh sebelumnya? Saya percaya yang pertama. Tentu saja tidak ada rumah sakit yang bisa bertahan tanpa pemasukan. Tidak ada universitas modern yang bisa beroperasi tanpa biaya. Tetapi masalah muncul ketika keseluruhan sistem ini dipersepsikan sebagai satu-satunya bentuk distribusi kesejahteraan. Akhirnya Muhammadiyah menjadi seperti yang disindir Alm. KH. AR. Fakhruddin: gajah gendut, badan yang kehilangan ruh progresif sehingga tidak bisa memikirkan transformasi amal usaha dan mode redistribusi kesejahteraan yang lebih sesuai dengan khittah awal.

Imaji Kesejahteraan yang Serba-Kolektif

Masalah yang lebih mendasar dari amal usaha yang serba-kapital adalah asumsi bahwa kesejahteraan identik dengan layanan oleh lembaga (top-down). Sebaliknya, Islam mengidentikkan kesejahteraan dengan pembentukan sistem sosial-politik yang dimulai dari bawah (bottom-up). Ada banyak dalil yang menggambarkan distribusi keadilan, pengelolaan sumber daya alam secara kolektif, bahkan pembongkaran struktur sosial, politik, dan ekonomi, yang sengaja atau tanpa sengaja menumpuk, memusatkan, dan memonopoli kekayaan dan kekuasaan. Semua itu digambarkan sebagai kerja-kerja berserikatnya masyarakat akar rumput untuk membangun kesejahteraannya sendiri, bukan kerja-kerja yang diwakilkan oleh elit lewat institusi. Wajah amal usaha Muhammadiyah di era pendiri sesungguhnya lebih dekat dengan kerja-kerja kesejahteraan jenis itu, ketimbang wajah amal usaha serba-kapital yang diwakili teologi al-‘Ashr versi-baru.

Amal usaha yang serba-kapital cenderung meletakkan kemampuan untuk bertahan dan mengembangkan aset kapital di pasar sebagai tolak ukur keberhasilan. Padahal, tidak ada jaminan bahwa “kekayaan organisasi” menjamin “keadilan sosial umat”. Sebaliknya, orientasi pada kekayaan organisasi dapat mendorong Muhammadiyah untuk fokus pada penumpukan kekayaan saja. Pada gilirannya, elit kuasa di dalam tubuh Muhammadiyah tercipta sebagai keniscayaan sejarah untuk mengontrol kapital tersebut. Elit kuasa itu pada dapat mengancam budaya demokratis-egaliter di dalam organisasi, dan ujung-ujungnya membuat komunitas akar rumput tetap terpinggirkan atau tidak diprioritaskan (keseluruhan dinamika memasygulkan hati di internal Muhammadiyah terkait tambang beberapa waktu lalu jadi buktinya). Bila demikian, amal usaha serba-kapital yang dibela teologi al-‘Ashr versi baru itu jadi tampak didesain hanya untuk menguntungkan lembaga, bukan mustadh’afin.

Lebih gawat lagi, amal usaha serba kapital dapat mereduksi rasa percaya pada kemampuan umat akar rumput untuk saling memberdayakan dalam regulasi sosial yang lebih munisipalis. Kesejahteraan sesungguhnya akan lebih permanen apabila diusahakan lewat rekayasa (ulang) sistem sosial, dan ini telah dipraktekkan dalam bentuk yang tradisional maupun yang lebih modern.

Baca Juga  Hilangnya Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 dan Kisah 4 Presiden

Bentuk tradisionalnya tampak dalam praktek hidup masyarakat adat seperti Bayan di Lombok, Baduy di Banten, atau Boti di NTT, yang mengatur agar kesejahteraan dapat dinikmati bersama dan berkelanjutan dalam sebuah sistem yang dekat dengan kebutuhan lokal. Mereka membentuk dewan adat yang membagi kekuasaan di antara mereka dengan peran dan fungsi yang saling membatasi satu sama lain, dengan sistem pengambilan keputusan yang demokratis sekaligus sakral, untuk menjamin tidak adanya pemusatan kekuasaan dan kapital.

Mereka membagi ruang hidup dengan ketat: ada area larangan, area privat, ada area kolektif, yang semuanya diatur dengan hukum adat yang tidak mudah berubah (sehingga tidak mudah pula dimanipulasi). Pengetahuan dan keterampilan lokal dijaga dan diwariskan lewat ritus yang terhubung ke banyak aspek: pangan, senjata, kain, obat-obatan, bahkan bahasa, dan itu masih terhubung lagi ke aspek yang lebih luas, yaitu sumber daya alam. Semua saling mengait, membentuk jejaring sistemik yang menjamin kesejahteraan bersama dan berkelanjutan, kendati skala produksi dan konsumsinya kecil. Itu menunjukkan bahwa kesejahteraan bisa dibuat tanpa logika pertumbuhan, tanpa privatisasi, dan tanpa biaya-biaya layanan yang berat. Air bisa mengalir tanpa tagihan. Pangan bisa dijaga lewat kelangsungan tradisi. Rumah bisa dibangun bersama-sama tanpa ongkos yang serba uang.

Bentuk modernnya bisa dilihat dari konsep municipalism. Ide ini menolak ilusi bahwa kesejahteraan hanya dapat lahir dari model distribusi yang diurus oleh kekuasaan terpusat, yang membawahi terlalu banyak daerah. Bentuk itu ditentang karena terbukti hanya melahirkan agenda-agenda penyejahteraan yang bersifat instruksional, tidak berpihak, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan lokal. Ikhtiar kesejahteraan itu harus direbut dan dikembalikan ke ruang yang paling dekat dengan masyarakat: kota atau desa, lingkungan hidup, dan komunitas orang biasa, bukan komunitas elit. Bentuk wadahnya adalah majelis warga yang berskala kecil agar aspirasi warga bisa langsung didengar (bottom-up). Ini mencegah keputusan politik yang menyangkut kesejahteraan tidak dibuat segelintir orang yang tidak dikenal oleh masyarakat. Majelis warga bukan ruang elektoral, melainkan ruang untuk warga berkumpul, berdebat secara setara, dan membuat keputusan bersama atas hal-hal yang menyangkut kesejahteraan bersama mereka, tanpa wakil. Nantinya akan ada konfederasi antar majelis warga dan masing-masing majelis mengutus wakil, tapi dengan kewenangan yang terbatas, akses terhadap anggaran yang terbatas, serta kinerja yang terkontrol dari majelis warga di tingkat bawah.

Sekilas model-model di atas (tradisional dan modern) tidak berbeda dengan praktek demokrasi hari ini, tapi sebetulnya keduanya berdiri di atas prinsip dan mekanisme yang tidak sama. Terutama sekali pada model tradisonal, kesejahteraan diusahakan lewat kedaulatan sumber daya dan sistem sosial-politik-ekonomi yang tidak selalu bergantung pada pasar dan institusi besar. Model tradisional itu bahkan terbukti lebih tahan terhadap krisis. Namun, itulah model-model kesejahteraan yang tidak (mau) dibicarakan oleh teologi al-‘Ashr versi baru yang kesurupan kapitalisme itu.

Apakah teologi al-‘Ashr yang itu mampu menjelaskan bencana-bencana ekologis akibat salah urus negara ini? Apakah hasrat untuk jadi naga kesepuluh (yang diyakini sebagai islami) itu diikuti dengan kalkulasi yang matang bahwa kekuasaan dan kapital yang tersentralisasi cenderung tidak mungkin transparan? Bagaimana pun, agaknya mustahil untuk berjalan lurus bila kaki yang dipilih untuk berjalan itu bengkok sejak awal, meski yang berjalan merasa mampu karena disihir optimisme tanpa kalkulasi paradigmatis. Daripada sesumbar siap berkubang di got berlumpur demi tujuan menjadi naga kesepuluh, bukankah lebih baik untuk memperbanyak laboratorium eksperimentasi kesejahteraan berbasis rekayasa sosial, misalnya lewat qoryatun thoyyibah?

Perbandingan di atas sama sekali tidak bertujuan untuk meromantisasi masyarakat adat, tetapi untuk menunjukkan bahwa teologi al-‘Ashr versi baru itu bukan satu-satunya jalan untuk mengusahakan kesejahteraan. Kelemahan teologi al-‘Ashr versi baru itu adalah ia miskin imajinasi, miskin pembacaan terhadap bentuk-bentuk perekonomian yang lebih menjamin kemerdekaan, dan miskin pengalaman menerapkan prinsip warga bantu warga dalam konteks yang lebih libertarian. Tanpa imajinasi (dan eksperimentasi) yang lebih berani, teologi al-‘Ashr itu cuma jadi gincu untuk memperhalus kapitalisme agar tipu dayanya lebih diterima di telinga umat.

Baca Juga  Pidato Prabowo di PBB: Diplomasi Realistis atau Sekadar Retorika?

Kesejahteraan Bukan Peningkatan Kekayaan

Pada tahun 2023, dalam sebuah lokakarya umum di Desa Adat Bayan, Lombok Utara, saya sampaikan kepada kepala desa, karang taruna, tetua, tokoh masyarakat, dan warga adat suku muslim ini yang berbondong-bondong datang.

“Syukurlah epe pada (anda semua) punya adat. Mungkin epe merasa adat ini susah, butuh biaya, dan melelahkan untuk dipelihara. Tapi sebagai ganti dari semua itu, epe tidak harus memenuhi hajad hidup dengan uang, dengan serba-membeli. Adat membuat epe saling memiliki satu sama lain, dan bisa tetap mengusahakan air, makanan, pakaian, dan rumah sama-sama. Waktu bencana gempa tahun 2018, epe pada tidak susah. Semua karena adat.”

Di Desa Adat Bayan, masyarakat memang tidak perlu membeli air. Dengan pipa-pipa swadaya, mereka bisa mengalirkan air dari mata air di hutan-hutan adat mereka ke setiap rumah. Air itu bisa langsung diminum. Itu adalah jenis kesejahteraan yang diperoleh dari membangun dan mempertahankan sistem sosial yang menjamin hutan-hutan terpelihara, bukan kesejahteraan yang, atas nama pertumbuhan aset dan kapital, memberi mereka hak untuk membabat hutan dan mengeruk tanah.

“Sekarang, mungkin, harta adat epe sudah banyak tergerus. Sudah banyak sawah, ladang, dan ternak yang hilang. Tapi pengetahuan epe masih disimpan oleh para toaq lokaq, masih bisa digali, masih bisa dibangun ulang. Beda dengan tiang (saya) di kota. Percayalah, kehidupan tanpa adat di kota itu kelihatannya saja makmur sejahtera. Kelihatannya semua serba ada, tapi sebetulnya rapuh sekali. Kami di kota dikerjai sama kehidupan modern ini. Semua diukur dengan uang. Kalau tidak punya uang, lebih baik mati. Kaya dan miskin itu timpang.”

Berkata begitu, saya bukan iseng. Saya memang merasa kesejahteraan yang dikejar negara ini berbahaya, dan bahaya itu sudah tiba di titik didih. Penghancuran hutan hujan tropis, pengeboman dan pengerukan tanah untuk tambang, serta proses operasional yang penuh manipulasi dan korupsi: semua itu meninggalkan kerusakan permanen bukan hanya pada alam, melainkan pada konsep kesejahteraan yang dibangun nenek moyang sejak dulu. Muhammadiyah, lewat aminan pada teologi al-‘Ashr versi baru, sayangnya seperti tidak mampu melihat bahaya itu, dan lebih tidak berdaya lagi untuk menolak hasrat turut berkontribusi membesarkan bahaya.

Dalam surat al-Isra’ ayat 16, Allah bersendika: “Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu).”

Tidakkah ayat ini petunjuk yang paling jelas bahwa Allah mewaspadai kelompok elit kapital dan politik sebagai sumber marabahaya karena kedurhakaan mode ekonomi dan kekuasaan mereka?

Saya ingin menutup tulisan ini dengan kutipan Enrique Peñalosa: “An advanced city is not one where the poor own a car, but one where the rich use public transport” (Kota yang maju bukanlah kota di mana orang miskin memiliki mobil, tetapi kota di mana orang kaya menggunakan transportasi umum).

Kesejahteraan bukan peningkatan kekayaan, melainkan sistem yang menjamin semua orang menikmati manfaat. Sistem!

*) Penulis: AS Rosyid

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *