Kegagalan Tata Kelola Risiko: Banjir Bandang Sumatera sebagai Peringatan Sistemik

Kegagalan Tata Kelola Risiko: Banjir Bandang Sumatera sebagai Peringatan Sistemik

MAKLUMAT — Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 bukan sekadar peristiwa alam, melainkan indikator krisis yang terus berulang. Dengan jumlah korban meninggal mencapai ratusan, ribuan orang terluka, dan ratusan lainnya masih dinyatakan hilang, tragedi ini menegaskan bahwa sistem mitigasi dan adaptasi yang seharusnya menjadi perlindungan dasar bagi masyarakat tidak berjalan secara efektif.

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa kerentanan yang muncul merupakan konsekuensi struktural dari kebijakan yang gagal mengantisipasi ancaman ekologis yang sebenarnya dapat diprediksi.

Dalam sudut pandang kritis yang ingin disampaikan penulis, peristiwa ini menjadi peringatan keras atas belum optimalnya negara dalam menjalankan mandat konstitusional untuk menjamin keselamatan publik. Menilai bahwa catatan ini menjadi bukti kuat bahwa fondasi kebijakan pembangunan belum berorientasi pada pengurangan risiko secara substansial.

Fenomena tersebut telah mencerminkan ketidaksinambungan antara agenda pembangunan, perlindungan lingkungan, dan keamanan manusia. Berbagai bencana yang berulang di Indonesia menunjukkan bahwa langkah-langkah mitigasi masih bersifat administratif dan belum terintegrasi dalam kerangka pembangunan jangka panjang.

Ketegasan dari kebijakan dibuat oleh pemerintahan mengenai lingkungan masih sangat kurang aspek pengontrolan dari pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah. Melihat kerusakan lingkungan semakin meluas membuat bencana bagi bumi yang bakal memberikan dampak besar. Seperti terjadi di Sumatera dan Aceh telah membuat masyarakat merasakan dampak dengan kerusakan lingkungan terjadi.

Baca Juga  Teknologi yang Menyentuh Hati Manusia

Kritik IMM Malang telah menegaskan bahwa pembangunan yang tidak mempertimbangkan daya dukung ekologis justru memperbesar risiko sosial di berbagai wilayah.

Kerentanan yang terbentuk juga berakar pada keputusan politik yang memperkuat tekanan ekologis. Orientasi pembangunan yang mengabaikan kapasitas ekosistem, lemahnya pengawasan terhadap eksploitasi sumber daya, serta absennya penggunaan data risiko dalam perumusan kebijakan mencerminkan bahwa keselamatan publik belum dijadikan prioritas strategis.

Dalam konteks tersebut, melihat kondisi masyarakat Sumatera dan Aceh yang dilanda oleh bencana kebanjiran, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Jumat (5/12/2025) mencatat 867 korban meninggal, 521 orang hilang, dan ratusan ribu warga yang terpaksa mengungsi.

Situasi di Aceh dan Sumatera telah diperlihatkan bagaimana kerusakan lingkungan menciptakan dampak sosial. Kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses terhadap informasi, mitigasi, dan kapasitas adaptasi, menjadi pihak yang paling rentan menghadapi bencana.

Kondisi demikian, telah memperdalam ketimpangan sosial karena beban terberat justru ditanggung oleh kelompok yang kontribusinya paling kecil terhadap degradasi lingkungan. Dinamika ini menunjukkan persoalan ekologis tidak dapat dipisahkan dari aspek keadilan sosial, terutama ketika risiko lebih banyak dipikul oleh kelompok rentan tanpa dukungan struktural memadai.

Tragedi tersebut juga mengungkap kelemahan fundamental dalam penegakan kebijakan lingkungan. Meskipun berbagai instrumen regulasi telah tersedia, lemahnya pengawasan dan minimnya akuntabilitas membuat aturan tidak mampu menahan laju kerusakan ekologis.

Baca Juga  Refleksi Hukum dan Demokrasi Kita

Ketidaktegasan negara menjadikan regulasi lebih menyerupai dokumen formal tanpa memikirkan substantif untuk mencegah risiko kerusakan Lingkungan. Maka, IMM Malang Raya menekankan pemerintahan untuk memperbaiki tugas dan fungsinya serta kebijakan tata kelola lingkungan dengan dasar ilmiah dan berdampak.

Namun demikian, pembaruan regulasi saja tidak cukup tanpa perubahan paradigma pembangunan. Indonesia membutuhkan pendekatan yang menempatkan daya dukung lingkungan sebagai landasan utama pengambilan keputusan, bukan sekadar pertimbangan pertumbuhan ekonomi jangka pendek.

Integrasi pengetahuan dalam pemanfaatan teknologi serta partisipasi masyarakat perlu diperkuat agar kebijakan pencegahan tidak berhenti pada tataran wacana. IMM Malang memandang bahwa mitigasi merupakan tanggung jawab kolektif yang menuntut kesadaran bahwa keselamatan masyarakat tidak dapat dinegosiasikan.

Pada akhirnya, tragedi Aceh-Sumatera harus dibaca sebagai peringatan sistemik bahwa reformasi tata kelola risiko tidak boleh kembali. Tanpa arah kebijakan yang progresif dan komitmen politik yang konsisten, peristiwa serupa hanya menunggu waktu dengan potensi dampak yang lebih destruktif. IMM Malang menegaskan bahwa negara harus memastikan setiap kebijakan menghasilkan kontribusi nyata bagi pengurangan risiko sehingga keselamatan publik tidak lagi menjadi korban dari kelemahan struktural. Dengan demikian, arah pembangunan nasional perlu dikembalikan pada prinsip keberlanjutan dan perlindungan kehidupan manusia sebagai prioritas utama.

*) Penulis: Iqbal Putra Pratama
Sekretaris Bidang RPK IMM Malang Raya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *