Bagaimana Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia?

Bagaimana Sejarah Pemikiran Hak Asasi Manusia?

MAKLUMAT – Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia selalu diperingati setiap tanggal 10 Desember. Banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, turut merayakannya setiap tahun.

Bagi masyarakat dunia, tanggal ini menjadi momen penting untuk merenungkan sejauh mana hak-hak asasi setiap manusia telah dihormati dan dipenuhi. Pada tahun 2025, peringatan Hari HAM genap berusia 77 tahun, tepatnya pada Rabu, 10 Desember 2025.

Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan HAM? Bagaimana sejarah dan perkembangan konsep ini hingga menjadi perhatian global saat ini?

Apa itu HAM?

Ada banyak sekali literatur yang berbicara mengenai HAM. Salah satunya adalah buku berjudul Hukum dan Hak Asasi Manusia yang terbit pada 2020. Buku itu ditulis oleh akademisi asal Universitas Muhammadiyah Palembang, Serlika Aprita dan Yonani Hasyim.

Dalam bukunya, mereka menjelaskan bahwa secara harfiah, kata hak berarti kewenangan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sementara itu, kata asasi berasal dari kata asas, yang berarti dasar, fondasi, atau tumpuan berpikir dan berpendapat.

Dengan penambahan imbuhan “-i”, kata tersebut menjadi asasi, yang bermakna sesuatu yang bersifat pokok atau dasar. Jadi, HAM adalah hak dasar atau hak pokok seorang manusia.

“Secara istilah, kata hak asasi berarti kewenangan dasar yang dimiliki oleh seseorang yang melekat pada diri orang itu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan pilihan hidupnya,” tulis keduanya.

Baca Juga  Tokoh Katolik Kupang Sambut Muhammadiyah dengan Hangat

HAM berasal dari istilah Prancis droits de l’homme atau bahasa Inggris human rights, yang berarti “hak manusia”. Secara teoritis, HAM adalah hak yang melekat pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan, bersifat dasar, luhur, dan tidak dapat dipisahkan dari kodratnya.

Sejarah Konsep HAM

Salah satu versi menyebutkan bahwa pemikiran mengenai HAM mulai muncul pada awal abad ke-17 hingga ke-18 di Eropa. Hal ini sebagai reaksi terhadap kediktatoran raja dan kaum feodal yang menindas rakyat. Masyarakat pada masa itu terbagi menjadi lapisan atas dan lapisan bawah.

“Lapisan atas (minoritas) sebagai yang mempunyai sejumlah hak terhadap lapisan bawah (mayoritas) sebagai kelompok yang diperintah; dan lapisan bawah yang mayoritas mempunyai sejumlah kewajiban-kewajiban terhadap lapisan minoritas yang menguasainya,” tulis Serlika dan Yonani.

Adapun versi lain menyebut bahwa cikal bakal HAM lahir melalui Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Dokumen tersebut membatasi kekuasaan absolut raja dan menegaskan tanggung jawabnya di hadapan hukum.

Doktrin “raja tidak kebal hukum” lahir dari dokumen tersebut, yang kemudian menjadi dasar monarki konstitusional. Kemudian, dokumen bertajuk Bill of Rights pada tahun 1689 di Inggris menegaskan persamaan manusia di muka hukum, mendukung hak kebebasan, dan mendorong terbentuknya negara hukum.

Perkembangan selanjutnya terlihat di Amerika Serikat dengan The American Declaration of Independence, yang menekankan manusia itu merdeka sejak lahir. Di Prancis, dokumen bernama The French Declaration pada tahun 1789 menegaskan hak-hak warga negara, termasuk larangan penahanan sewenang-wenang, presumption of innocence, kebebasan berpendapat, beragama, hingga perlindungan hak milik.

Baca Juga  Mendes Yandri: Koperasi Merah Putih Jadi Solusi Ekonomi Desa, Paket Komplit untuk Indonesia Emas 2045

Di abad ke-20, hak-hak tersebut diperkaya melalui The Four Freedoms (6 Januari 1941) yang dikemukakan Presiden Roosevelt. Hak-hak itu berupa kebebasan berbicara, beragama, bebas dari rasa takut, dan bebas dari kemiskinan.

Puncaknya, sesudah perang dunia II, muncul Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR) oleh PBB pada 10 Desember 1948. PBB menetapkan HAM secara universal, diikuti perjanjian hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya pada 1966.

“Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut (1948), 48 negara menyatakan persetujuannya, delapan negara abstain, dan dua negara lainnya absen. Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari HAM,” jelas Serlika dan Yonani.

Perjuangan HAM Masih Panjang

Seiring berjalannya waktu, pemikiran mengenai HAM mengalami pasang surut, sejalan dengan dinamika sejarah peradaban manusia. Terutama dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Menurut laporan tahunan Amnesty International 2025, masih banyak hal yang harus dievaluasi kembali mengenai perkembangan HAM di tingkat nasional, regional, dan global.

Dalam temuan mereka, organisasi ini menyoroti tren pelanggaran HAM di seluruh dunia. Hal itu termasuk dalam konflik bersenjata, penindasan terhadap kebebasan berpendapat, diskriminasi, ketidakadilan ekonomi dan dampak perubahan iklim, hingga penyalahgunaan teknologi.

Serlika dan Yonani menjelaskan bahwa perjuangan untuk menegakkan HAM tidak pernah berhenti, meskipun telah banyak dicapai melalui berbagai dokumen dan perjanjian internasional sepanjang sejarah. “Sampai sekarang di abad ke-21 ini, HAM masih tetap diperjuangkan,” tulis keduanya.

Baca Juga  Kantor PPP Terancam Direbut, Mardiono Minta Polisi Pasang Badan
*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *