MAKLUMAT — Banjir bandang yang melanda Sumatera pada akhir November lalu tidak hanya menyisakan kerusakan fisik, tetapi juga meninggalkan luka sosial yang mendalam. Dalam situasi serba tidak pasti, peran perempuan dalam respons bencana semakin tampak dominan. Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Ir Iis Siti Aisyah MT PhD, menjadi salah satu sosok yang sigap dan bergerak cepat di tengah krisis tersebut, dengan turun langsung sebagai relawan.
Iis, sapaan akrabnya, mengaku bahwa naluri keibuan menjadi dorongan terkuat untuk turut serta dalam misi bantuan kemanusiaan. “Sebagai ibu, hati saya langsung tertegun ketika melihat kondisi para penyintas,” ujarnya, dalam keterangan yang diterima Maklumat.id, Jumat (12/12/2025).
Ia menambahkan bahwa dorongan tersebut muncul dari keinginannya untuk membantu apa pun yang bisa meringankan beban masyarakat terdampak.

Keterlibatannya merupakan bagian dari kolaborasi resmi antara UMM dan Universitas Brawijaya (UB) dalam operasi tanggap darurat yang diberangkatkan pada 8 Desember lalu. Tim relawan ini fokus memberikan bantuan di Kabupaten Agam, khususnya di Malalak, Palembayan, dan Maninjau. Sebanyak 3 dosen dan 16 mahasiswa Maharesigana dari UMM diterjunkan dalam misi tersebut. Iis dipercaya sebagai Koordinator Dapur Umum, posisi strategis yang menuntut ketelitian, kemampuan manajemen logistik, serta kepekaan sosial terhadap kebutuhan para penyintas.
Di dapur umum, kerja cepat relawan perempuan menjadi pilar yang menjaga alur penyediaan makanan tetap tertib. Kepekaan mereka menghadirkan kenyamanan bagi para penyintas, bahkan lewat sapaan-sapaan sederhana saat antre mengambil makanan.
“Kadang orang lupa, perempuan itu bukan hanya bantu masak. Tapi kami juga membaca kebutuhan, menenangkan yang gelisah, dan menjaga semuanya tetap berjalan. Di situ letak kekuatan kami.” ungkapnya.
Iis menegaskan bahwa kontribusi perempuan dalam penanganan bencana bukan sekadar pelengkap, tetapi menjadi komponen vital dalam kerja kemanusiaan. Menurutnya, sifat adaptif, teliti, empatik, serta kemampuan membangun kedekatan emosional adalah keunggulan yang memberi dampak besar terhadap efektivitas tim di lapangan. Sensitivitas perempuan, lanjutnya, juga membantu mempercepat pemulihan sosial, terutama bagi penyintas yang berada dalam kondisi trauma.
“Kadang masyarakat yang mengalami trauma lebih mudah membuka diri kepada perempuan, dan hal itu membuat komunikasi serta penanganan psikososial menjadi jauh lebih optimal,” katanya.
Sebagai akademisi teknik, Iis juga mengingatkan pentingnya peningkatan kewaspadaan masyarakat yang tinggal di wilayah rawan bencana. Ia menekankan bahwa budaya kesiapsiagaan harus terus dibangun, sementara pemerintah wajib memperkuat sistem respons cepat setiap kali muncul tanda-tanda ancaman. “Kita tidak boleh menunggu sampai terlambat. Begitu ada indikasi bahaya, harus ada langkah cepat, terukur, dan jelas,” ucapnya.
Lebih jauh, ia berharap agar teknologi peringatan dini di Indonesia semakin diperbaiki dan diperkuat. Menurutnya, sistem yang lebih akurat akan memberi peluang lebih besar bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri.
“Saya hanya berharap tidak ada lagi korban yang jatuh karena telat mendapat informasi. Empati, persatuan, dan kemampuan bergerak cepat adalah kunci agar kita bisa bertahan menghadapi bencana serupa di masa depan,” pungkas Iis.