Pakar UMM Soroti Kekeliruan Menyamakan Sawit dengan Hutan

Pakar UMM Soroti Kekeliruan Menyamakan Sawit dengan Hutan

MAKLUMAT – Ramainya pemberitaan mengenai rencana pemerintah membuka ratusan ribu hektare lahan sawit memunculkan perdebatan dampak ekologisnya. Ada sekelompok masyarakat yang masih menganggap bahwa sawit memiliki fungsi serupa dengan pohon hutan dalam hal penyerapan air dan pencegahan banjir.

Febri Arif Cahyo Wibowo, akademisi kehutanan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memiliki pandangannya. Ia menilai kesamaan itu berpotensi menyesatkan pemahaman publik mengenai ekosistem hutan dan daya dukung lingkungannya.

“Perbedaan paling mendasar antara sawit dan pohon hutan terletak pada struktur akar dan karakter vegetasi,” katanya. Akar sawit, lanjut Febri, bersifat serabut dengan kedalaman rata-rata sekitar satu meter. Walhasil, daya serap dan menyimpan air sangat terbatas.

Sebaliknya, pohon hutan memiliki akar yang dapat menjangkau kedalaman dua hingga tiga meter. Pada kondisi tertentu, bahkan mencapai sepuluh meter. Perbedaan struktur ini membuat pohon hutan jauh lebih efektif dalam menjaga keseimbangan hidrologi dan kestabilan tanah.

Di Mana Letak Perbedaannya?

“Sawit adalah tanaman perkebunan bukan tanaman hutan. Masyarakat tidak bisa begitu saja menyamakan kapasitas ekologis sawit dengan pohon hutan alam. Kalau soal mempertahankan air, pohon jelas lebih unggul,” ujarnya saat diwawancara tim humas UMM 12 Desember lalu.

Dosen kehutanan tersebut menerangkan bahwa sistem tanam sawit yang bersifat monokultur turut memperbesar kerentanan ekologis. Lantai kebun sawit yang bersih dari tumbuhan bawah membuat air hujan jatuh langsung menghantam permukaan tanah tanpa peredam alami.

Baca Juga  Dampak Media Sosial Bisa Seret Kesadaran Politik dan Polarisasi Publik

Sementara itu, hutan alam memiliki struktur vegetasi berlapis yang mampu menahan, memperlambat, dan menyebarkan aliran air hujan sebelum mencapai tanah. Kondisi ini tidak hanya menjaga kelembapan tanah, tetapi juga mengurangi peluang terjadinya erosi.

Fungsi Hutan Alami

“Dalam konteks kebijakan ekspansi sawit, risiko erosi merupakan ancaman paling dekat, terutama pada kawasan dengan topografi miring,” ujar Febri. Itu sebabnya, hasil penelitian menunjukkan tingkat erosi di lahan sawit pada lereng tergolong tinggi.

Pada saat intensitas hujan tinggi dan tidak ada vegetasi penahan, dampaknya bisa sangat besar. “Regulasi sebenarnya sudah sangat jelas, tinggal ditaati saja,” tegasnya.

Tingginya intensitas hujan akibat perubahan iklim dapat memperburuk kerentanan lingkungan, apabila perluasan sawit tanpa memperhatikan karakteristik lahan. Ia menegaskan bahwa pemerintah perlu memastikan pengembangan sawit tidak terjadi di kawasan rawan bencana dan harus mempertimbangkan daya dukung tanah.

Tegakkan Undang-undang, Melindungi Alam

Ia juga menambahkan bahwa kementerian terkait sebenarnya sudah memiliki aturan tentang pengelolaan hutan produksi dan hutan tanaman industri. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengabaikan aspek ekologis.

Pemerintah, lanjutnya, harus menghindari keputusan yang mengorbankan fungsi ekologis hutan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

“Buat blok-blok khusus untuk sawit, dan kembalikan fungsi hutan pada kawasan yang secara ekologis tidak cocok untuk kebun. Jangan memaksakan sawit tumbuh di tempat yang memang bukan habitatnya,” tegasnya mengingatkan.

Baca Juga  14 Aplikasi Jadi Satu Portal, Menteri Abdul Mu’ti: Digitalisasi Birokrasi Kunci Reformasi

Ia berharap diskusi tentang sawit dapat ditempatkan dalam perspektif yang seimbang antara ekonomi dan konservasi. Febri mengingatkan bahwa sawit memang memberi keuntungan ekonomi, tetapi alam merancang tidak untuk menggantikan fungsi ekologis hutan alam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *