MAKLUMAT – Salah kaprah tentang kripto dan bitcoin masih banyak terjadi di tengah masyarakat. Anggapan bahwa bitcoin merupakan alat pembayaran, bahkan sejajar dengan praktik perjudian, tidak sepenuhnya tepat. Hal itu mendapat sorotan dosen Program Studi Hukum Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Mochammad Tanzil Multazam.
Menurut Tanzil, pemahaman publik terhadap kripto dan bitcoin masih bercampur antara aspek hukum, teknologi, dan ekonomi. Padahal, aset kripto memiliki karakteristik yang berbeda dengan mata uang konvensional.
“Banyak kesalahpahaman yang berkembang, mulai dari anggapan kripto sebagai uang, perjudian, atau sekadar spekulasi,” ujar Tanzil, mengutip laman resmi Umsida, Senin (15/12).
Pandangan tersebut disampaikan Tanzil saat menjadi pembicara dalam forum Reevaluasi Fatwa Muhammadiyah tentang Bitcoin dan Aset Kripto yang digelar Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Yogyakarta, Ahad (14/12). Dalam forum itu, ia hadir bersama pembicara lain, Dr Ir Noor Akhmad Setiawan PhD dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Luruskan Salah Kaprah Pola Pikir
Dalam paparannya, Tanzil menegaskan bahwa kripto dan bitcoin merupakan aset digital, bukan mata uang. Aset tersebut tidak diterbitkan oleh negara dan tidak memiliki status sebagai alat pembayaran yang sah. Karena itu, kedudukannya sejajar dengan aset lain seperti emas, saham, atau hak kekayaan intelektual.
Ia juga menjelaskan bahwa nilai kripto tidak muncul secara arbitrer. Nilai tersebut terbentuk dari kombinasi teknologi, manfaat ekonomi, tingkat kelangkaan, transparansi sistem blockchain, serta adopsi pengguna secara global.
Lebih jauh, Tanzil mengulas teknologi blockchain sebagai fondasi utama kripto dan bitcoin. Teknologi ini memiliki karakteristik desentralisasi, transparansi, keamanan kriptografis, serta immutability atau data yang tidak bisa berubah sepihak.
Dari teknologi blockchain inilah kemudian berkembang ekosistem Decentralized Finance (DeFi), yakni sistem keuangan berbasis aset digital yang berjalan tanpa perantara lembaga keuangan konvensional. DeFi memungkinkan berbagai aktivitas, mulai dari pertukaran aset digital, pinjam-meminjam, manajemen risiko, hingga kepemilikan fraksional atas aset dunia nyata melalui smart contract.
Meski demikian, Tanzil mengingatkan bahwa kripto dan bitcoin juga memiliki risiko. Fluktuasi harga, risiko teknologi, hingga potensi penipuan akibat rendahnya literasi pengguna menjadi tantangan yang tidak kecil.
“Karena itu, edukasi, tata kelola, dan regulasi menjadi prasyarat penting agar pemanfaatan aset kripto berjalan secara bertanggung jawab,” tegasnya.
Kontribusi dan Peran Kampus
Ia menyinggung perkembangan regulasi di Indonesia, salah satunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 27 Tahun 2024 tentang penyelenggaraan perdagangan aset keuangan digital termasuk aset kripto. Regulasi tersebut menunjukkan bahwa negara mulai memberikan posisi hukum yang lebih jelas terhadap kripto dan bitcoin dalam sistem nasional.
Keikutsertaan Tanzil dalam forum strategis tingkat Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu menjadi bentuk kontribusi Umsida dalam memperkaya diskursus nasional terkait hukum, teknologi, dan ekonomi digital, sekaligus meluruskan pemahaman publik mengenai kripto dan bitcoin.