Fatwa MUI tentang Perayaan Natal: Enam Landasan Al-Qur’an bagi Umat Islam

Fatwa MUI tentang Perayaan Natal: Enam Landasan Al-Qur’an bagi Umat Islam

MAKLUMATKeberagaman agama di Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari kebhinekaan bangsa. Perbedaan keyakinan menuntut kesadaran kolektif untuk saling menghormati, menjaga kerukunan, dan membangun kehidupan bersama secara damai di tengah masyarakat majemuk.

Dalam ajaran Islam, umat Muslim tidak dilarang untuk bergaul dan bermu’amalah dengan pemeluk agama lain. Bahkan, Islam mendorong umatnya untuk menjalin hubungan sosial yang baik, bekerja sama, dan saling menghormati dalam urusan-urusan keduniaan. Prinsip ini menjadi dasar penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun demikian, persoalan menjadi berbeda ketika menyentuh ranah aqidah dan peribadatan. Salah satu isu yang kerap mengemuka, terutama menjelang 25 Desember, adalah hukum bagi umat Islam mengikuti perayaan Natal bersama umat Kristiani.

Terkait hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah lama mengeluarkan Fatwa tentang Hukum Perayaan Natal Bersama, yang ditetapkan di Jakarta pada 7 Maret 1981 M. Dalam fatwa itu, MUI menegaskan bahwa mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram.

Penetapan hukum tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemurnian aqidah umat Islam agar tidak terjerumus pada syubhat, serta untuk menegaskan larangan ikut serta dalam ritual peribadatan agama lain, termasuk perayaan Natal yang memiliki dimensi teologis tertentu.

Dalam fatwa tersebut, MUI menyebutkan enam landasan Al-Qur’an yang menjadi pijakan keharaman umat Islam mengikuti perayaan Natal bersama.

Pertama, umat Islam diperbolehkan bekerja sama dan bergaul dengan pemeluk agama lain dalam perkara-perkara keduniaan. Prinsip ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13, QS. Luqman [31]: 15, dan QS. Al-Mumtahanah [60]: 8.

Baca Juga  Pemkot Surabaya Antisipasi Lonjakan Harga Jelang Natal

Kedua, umat Islam dilarang mencampuradukkan aqidah dan peribadatan Islam dengan aqidah dan peribadatan agama lain. Larangan ini merujuk pada QS. Al-Kafirun [109]: 1–6 dan QS. Al-Baqarah [2]: 42.

Ketiga, Islam mengajarkan pengakuan terhadap kenabian dan kerasulan Isa Al-Masih bin Maryam sebagaimana pengakuan kepada para nabi dan rasul lainnya. Landasan ini tercantum dalam QS. Maryam [19]: 30–32, QS. Al-Maidah [5]: 75, dan QS. Al-Baqarah [2]: 285.

Keempat, Al-Qur’an menegaskan bahwa keyakinan tentang Tuhan yang lebih dari satu, Tuhan memiliki anak, serta Isa Al-Masih sebagai anak Tuhan merupakan bentuk kekufuran dan kemusyrikan. Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Maidah [5]: 72–73 dan QS. At-Taubah [9]: 30.

Kelima, Allah SWT kelak akan menanyakan kepada Isa apakah ia pernah memerintahkan kaumnya untuk menjadikannya dan ibunya sebagai Tuhan. Isa menegaskan bahwa ia tidak pernah mengajarkan hal tersebut. Peristiwa ini disebutkan dalam QS. Al-Maidah [5]: 116–118.

Keenam, Islam secara tegas mengajarkan konsep ketauhidan bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Ikhlas [112]: 1–4.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, umat Islam diingatkan untuk bersikap bijak dalam membedakan antara perkara aqidah dan mu’amalah. Toleransi dan penghormatan terhadap pemeluk agama lain diwujudkan melalui interaksi sosial yang baik, kerja sama dalam urusan kemasyarakatan, serta upaya bersama membangun kemaslahatan bangsa.

Baca Juga  Sebut Serangan Israel di Gaza 'Kekejaman Luar Biasa', Paus Fransiskus Serukan Gencatan Senjata Saat Natal

Namun dalam urusan aqidah dan ritual peribadatan, umat Islam tidak dibenarkan mencampuradukkan ajaran agamanya dengan agama lain, apalagi ikut serta dalam praktik ibadah yang bersifat ritualistik.

Al-Qur’an menegaskan prinsip tersebut dalam firman Allah SWT:

‎لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
(QS. Al-Kāfirūn [109]: 6)

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *