Perguruan Tinggi Didorong Jadi Garda Pelestarian Lingkungan dalam Islam

Perguruan Tinggi Didorong Jadi Garda Pelestarian Lingkungan dalam Islam

MAKLUMAT – Perguruan tinggi didorong mengambil peran strategis dalam menegakkan pelestarian lingkungan sesuai kajian Islami. Tentu tidak hanya sebagai wacana keilmuan, tetapi juga sebagai praksis etika dan gerakan kolektif.

Dorongan itu mengemuka dalam Kajian Islam Multidisipliner (KIM) ke-6 yang digelar Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Selasa (23/12/2025).

Mengusung tema Ikhtiar Islam Berkemajuan Melestarikan Lingkungan, forum ilmiah ini menjadi ruang dialektika kritis tentang posisi kampus dalam menjawab krisis lingkungan yang kian mengkhawatirkan.

Diskusi dibuka Kepala Biro Riset, Penelitian, dan Kerja Sama UMM Dr. Salahudin, S.IP., M.Si., M.P.A., dan menghadirkan pakar lintas disiplin.

Menurutnya, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab moral dan akademik untuk mengawal nilai Islam Berkemajuan agar benar-benar hadir dalam praktik kehidupan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.

“Islam Berkemajuan tidak boleh berhenti pada narasi. Ia harus tampil dalam praktik yang beretika, terutama dalam pengelolaan lingkungan,” ujarnya.

Ia menyoroti kondisi kerusakan hutan di sejumlah wilayah Indonesia kian memprihatinkan. Mulai dari Sumatera hingga Nusa Tenggara Barat, alih fungsi lahan secara masif dinilai telah memperparah risiko bencana ekologis.

“Kerusakan hutan yang terjadi saat ini menjadi alarm serius bagi semua pihak, termasuk dunia akademik,” tegasnya.

Peran Kampus Menegakkan Islam Berkemajuan

Ketua Pusat Studi Islam Berkemajuan (PSIB) UMM Prof. Gonda Yumitro, Ph.D., yang memandu diskusi. Menurutnya, kampus harus menjadi pusat kesadaran sekaligus penggerak kolektif dalam agenda pelestarian lingkungan.

Baca Juga  UMM, Ladang Tumbuh Generasi Masa Depan Indonesia

Ia menyebut, sejak tahun 2000 Indonesia telah kehilangan sekitar 9 juta hektare hutan, sebagian besar akibat ekspansi perkebunan dan pertambangan.

“Data ini seharusnya menggugah kita. Perguruan tinggi tidak cukup hanya membangun kesadaran, tetapi juga mendorong gerakan nyata untuk merawat lingkungan,” kata Gonda.

Ia menambahkan, dalam perspektif pelestarian lingkungan dalam Islam, manusia ditempatkan sebagai khalifah di muka bumi. Posisi itu meniscayakan tanggung jawab menjaga keseimbangan alam, bukan mengeksploitasinya secara berlebihan.

Pakar budidaya hutan UMM Prof. Dr. Ir. Joko Triwanto, MP., IPU, menegaskan bahwa aktivitas ekonomi seperti perkebunan dan pertambangan tidak bisa lepas dari kewajiban menjaga ekosistem. “Pemanfaatan hutan untuk kepentingan ekonomi sah, tetapi harus taat aturan dan memperhatikan lingkungan sekitar,” ujarnya.

Ia mengingatkan, bencana ekologis di sejumlah daerah semestinya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah dan pelaku usaha. “Pohon bukan sekadar komoditas. Ia menjaga tanah dari erosi dan melindungi sumber mata air. Ini yang sering diabaikan,” tegasnya.

Membedakan Kerusakan dan Kerakusan

Sementara itu, pakar sosiologi lingkungan Rachmad K. Dwi Susilo, MA., Ph.D., menilai krisis lingkungan tidak bisa dilepaskan dari faktor struktural. Mulai dari ketidakmampuan alam memulihkan diri, kerakusan manusia modern, produksi kerusakan secara berjamaah, hingga kompromi politik antara penguasa dan pengusaha.

“Selama ini banyak forum yang berhenti pada kesadaran. Padahal, kesadaran tanpa gerakan adalah paradoks,” ujarnya. Ia menekankan, Islam memiliki fondasi kuat dalam menjaga lingkungan, sebagaimana ditegaskan para ulama yang menempatkan perlindungan alam sejajar dengan menjaga agama dan kehidupan.

Baca Juga  Menhut Raja Juli Antoni Tegaskan Komitmen Percepatan Penetapan Hutan Adat

Para narasumber sepakat, kritik internal merupakan bagian dari ikhtiar menegakkan nilai. Sejumlah pihak sepakat peran perguruan tinggi. Setidaknya menjadi ruang refleksi, pengujian etika, dan teladan dalam menerjemahkan pelestarian lingkungan dalam Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *