MAKLUMAT — Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah merilis hasil kajian yang dilakukan pada tahun 2024 di penghujung 2025. Salah satu hasil kajiannya berjudul Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen, Luruskan Arah Reformasi Perpajakan Indonesia. Kajian yang dilakukan 2024 disusun oleh tim di bawah naungan LHKP PP Muhammadiyah dengan dukungan pemikiran dari Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah.
Tim penyusun kajian terdiri atas Akbar Susamto, David Efendi, Ridho Al Hamdi, Alfian Djafar, Trisno Rahardjo, Budi Nugroho, dan Muh Fitrah Yunus. Mantan pimpinan KPK, M. Busyro Muqoddas, bertindak sebagai pengarah kajian.
Dalam kajiannya, Muhammadiyah menegaskan bahwa kenaikan tarif PPN lebih banyak menimbulkan mudarat dibandingkan manfaat. Kenaikan pajak konsumsi dinilai akan langsung menekan belanja rumah tangga dan memperlemah dunia usaha.
“PPN 12 persen akan memukul konsumsi rumah tangga, menekan dunia usaha, dan memperdalam ketimpangan ekonomi,” tulis kajian tersebut dikutip Sabtu (27/12/2025).
Pemerintah sebelumnya menetapkan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pemerintah beralasan kebijakan itu diperlukan untuk menambah penerimaan negara dan menjaga ketahanan fiskal.
Namun, LHKP Muhammadiyah menilai argumen tersebut tidak sepenuhnya berdasar. Kajian mencatat, kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada April 2022 tidak memberikan lonjakan signifikan terhadap penerimaan negara. Data menunjukkan penerimaan PPN dan PPnBM justru tumbuh lebih tinggi sebelum tarif dinaikkan.
Pada periode Januari–Maret 2022, penerimaan PPN dan PPnBM tumbuh 34,33 persen. Setelah tarif naik, pertumbuhan pada April–Desember 2022 turun menjadi 22,76 persen. Angka ini menunjukkan kontribusi kenaikan tarif terhadap penerimaan negara relatif kecil.
“Kenaikan tarif tidak otomatis menaikkan penerimaan. Bahkan bisa kontraproduktif ketika konsumsi melemah,” tulis kajian tersebut.
Muhammadiyah juga menyoroti dampak langsung kenaikan PPN terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Sebagai pajak konsumsi, PPN langsung mendorong kenaikan harga barang dan jasa. Beban pajak ini paling berat dirasakan kelompok miskin dan rentan yang sebagian besar pendapatannya digunakan untuk konsumsi.
Saat ini, konsumsi rumah tangga tumbuh stagnan di kisaran 4,9 persen. Padahal konsumsi menyumbang lebih dari 55 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Kenaikan PPN dinilai berisiko menekan konsumsi lebih dalam dan menghambat laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Kajian tersebut juga menyoroti dampak PPN terhadap sektor usaha, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kenaikan tarif akan meningkatkan biaya produksi dan mendorong kenaikan harga jual. Kondisi ini berpotensi menurunkan daya saing UMKM yang selama ini menyumbang sekitar 61 persen PDB nasional.
“PPN 12 persen bisa menjadi beban berlapis bagi UMKM, dari kenaikan biaya produksi hingga penurunan permintaan,” tulis tim kajian.
Selain itu, LHKP Muhammadiyah membandingkan kebijakan Indonesia dengan pengalaman negara lain. Jepang, Jerman, dan Spanyol pernah menaikkan tarif pajak konsumsi dan menghadapi penurunan tajam konsumsi rumah tangga. Di Jepang, dampak kenaikan PPN bahkan memaksa pemerintah menunda kenaikan lanjutan karena terlalu membebani ekonomi.
Muhammadiyah juga mengkritik struktur perpajakan nasional yang dinilai belum adil. Pemerintah dinilai lebih longgar terhadap korporasi besar melalui penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan, penghapusan pajak dividen yang diinvestasikan kembali, serta pemberian berbagai insentif fiskal seperti tax allowance dan tax holiday.
“Kenaikan PPN bisa dibaca sebagai upaya menutup potensi kehilangan penerimaan akibat kebijakan yang terlalu ramah terhadap korporasi,” tulis kajian tersebut.
Karena itu, LHKP Muhammadiyah meminta pemerintah meluruskan arah reformasi perpajakan. Reformasi dinilai tidak boleh semata mengejar penerimaan jangka pendek, tetapi harus menjamin keadilan sosial, progresivitas, dan keberlanjutan ekonomi.
Kajian tersebut mendorong penguatan pajak langsung, terutama Pajak Penghasilan, dibandingkan mengandalkan PPN. Pajak langsung dinilai lebih adil karena menyesuaikan kemampuan ekonomi wajib pajak.
Muhammadiyah juga mengusulkan penerapan pajak kekayaan bagi kelompok superkaya. Pajak ini dinilai mampu menekan ketimpangan ekonomi yang kian melebar. Riset Celios 2024 mencatat kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta penduduk termiskin.
Dalam rekomendasinya, LHKP Muhammadiyah meminta Presiden menggunakan kewenangan konstitusional, termasuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), untuk membatalkan kenaikan PPN 12 persen.
Muhammadiyah juga mendesak DPR memastikan setiap kebijakan perpajakan berpihak pada kepentingan rakyat luas, bukan sekadar memenuhi target fiskal jangka pendek.
Bagi Muhammadiyah, pembatalan PPN 12 persen bukan sekadar soal angka penerimaan negara, melainkan soal keberpihakan negara terhadap rakyat. Pajak, menurut kajian ini, harus menjadi alat pemerataan, bukan beban tambahan bagi kelompok paling rentan.***