Feminisme Interseksional Pilar Gerakan Perempuan Inklusif, Alimatul Qibtiyah Tegaskan Relevansi dalam Islam

Feminisme Interseksional Pilar Gerakan Perempuan Inklusif, Alimatul Qibtiyah Tegaskan Relevansi dalam Islam

MAKLUMAT — Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Alimatul Qibtiyah MSi MA PhD, menyebut feminisme interseksional sebagai pendekatan penting dalam memperjuangkan keadilan gender yang inklusif dan berkeadaban.

Hal itu ia sampaikan ketika hadir secara virtual dan menjadi narasumber dalam Darul Arqam Nasyiatul Aisyiyah (DANA) III Jawa Timur, Sabtu (27/12/2025). Dalam materi bertajuk “Feminisme Interseksional sebagai Pilar Inklusivitas Gerakan Perempuan,” Alimatul menegaskan bahwa feminisme bukanlah konsep asing bagi masyarakat Indonesia maupun Islam.

Feminisme, kata dia, lahir dari kesadaran atas ketidakadilan yang dialami perempuan serta ikhtiar nyata untuk memperbaiki kondisi tersebut agar kehidupan perempuan menjadi lebih baik dalam berbagai aspek.

“Feminisme bergerak dengan keyakinan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama manusia seutuhnya, yang memiliki hak asasi dan martabat yang harus dihormati,” ujarnya, dikutip dari laman resmi PWNA Jatim, Ahad (28/12/2025).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ia menjelaskan bahwa feminisme dimaknai sebagai gerakan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara perempuan dan laki-laki. Namun dalam praktiknya, feminisme berkembang dalam beragam konteks sosial, budaya, dan agama, termasuk dalam Islam.

Nilai-nilai feminisme, kata dia, sejatinya sejalan dengan spirit ajaran Islam yang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan. Ia bahkan menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai figur teladan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah masyarakat Arab Jahiliyah yang sangat patriarkal.

Baca Juga  Hari Ibu; Bakti Nasyiah kepada Perempuan dan Anak

Alimatul mengingatkan bahwa kehadiran Islam mengubah cara pandang masyarakat terhadap perempuan. “Ketika Islam datang dan Tuhan menyebut perempuan, kami baru menyadari bahwa mereka juga memiliki hak-hak otonom yang tidak bisa diintervensi,” tandasnya, mengutip pernyataan Umar bin Khattab.

Ia menerangkan, sejarah telah menunjukkan bahwa gagasan keadilan gender telah ada sejak lama, bahkan sebelum istilah feminisme dikenal luas. Dalam konteks muslim Indonesia, ia menyinggung peran tokoh seperti Maria Ulfah Santoso yang sejak awal abad ke-20 telah memperjuangkan regulasi perkawinan yang adil bagi perempuan.

Lebih lanjut, Alimatul menilai feminisme tetap relevan karena ketidakadilan gender bukanlah mitos, melainkan realitas yang masih dialami banyak perempuan hingga hari ini. Menurutnya, ketidakadilan tersebut berakar pada cara berpikir, penafsiran, keyakinan, serta praktik sosial yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang tidak setara.

Ia mencontohkan berbagai bentuk ketidakadilan, mulai dari diskriminasi kepemimpinan, upah rendah, objektifikasi seksual, hingga kekerasan berbasis gender. Salah satu bentuk yang kerap dinormalisasi adalah catcalling atau candaan bernuansa seksual di ruang publik.

“Candaan seksis bukanlah keramahan, melainkan pintu masuk budaya kekerasan seksual,” sorot Alimatul, yang juga pernah menjabat Komisioner Komnas Perempuan periode 2019-2024.

Dalam kesempatan itu, Alimatul juga mengungkapkan data yang menunjukkan bahwa budaya permisif terhadap candaan seksis dapat melanggengkan budaya perkosaan.Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), menurutnya juga telah mengatur sanksi pidana bagi pelaku pelecehan verbal seksual.

Baca Juga  Awas! Pemilu 2029 Bisa Jadi Kuburan Massal Parpol Kecil

Ia menekankan pentingnya pendekatan interseksional dalam gerakan feminisme. Interseksionalitas mengakui bahwa identitas sosial—seperti gender, agama, disabilitas, kelas sosial, dan etnis—saling beririsan dan dapat memperkuat pengalaman diskriminasi seseorang.

“Tanpa perspektif interseksional, gerakan keadilan berpotensi meninggalkan kelompok yang paling rentan,” tegas Alimatul.

Karena itu, lanjutnya, feminisme muslim Indonesia diarahkan pada gerakan yang inklusif, tidak diskriminatif, serta mampu membangun dialog lintas perbedaan.

Dalam paparannya, ia juga menyoroti pentingnya penguatan konsep keluarga feminis. Menurutnya, banyak ketidakadilan gender justru berakar dari relasi kuasa yang timpang dalam keluarga.

Feminisme, katanya, tidak melarang perempuan memilih peran domestik, melainkan mendorong kebebasan memilih peran secara sadar dan tanpa paksaan. “Keluarga feminis menempatkan relasi sebagai negosiasi, bukan dominasi,” kata Alimatul.

Dalam keluarga feminis, pekerjaan domestik dan pengasuhan merupakan tanggung jawab bersama orang tua. Laki-laki diposisikan sebagai mitra, bukan musuh, dalam memperjuangkan keadilan dan kesalingan.

Lebih jauh, Alimatul menekankan bahwa feminisme adalah gerakan kemanusiaan yang berangkat dari kepedulian terhadap ketidakadilan nyata. Ia juga mengingatkan bahwa keburukan akan terus tumbuh bukan semata karena banyaknya orang jahat, melainkan karena orang-orang baik memilih diam.

“Feminis muslim penting memiliki perspektif interseksional dan inklusif agar keadilan yang diperjuangkan benar-benar menghadirkan kemaslahatan bagi semua,” pungkas Alimatul.

*) Penulis: PWNA Jatim

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *