Novel Baswedan: SP3 Kasus Nikel Konawe Utara Rentan Intervensi Kekuasaan

Novel Baswedan: SP3 Kasus Nikel Konawe Utara Rentan Intervensi Kekuasaan

MAKLUMAT Mantan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan meyakini adanya potensi intervensi kekuasaan di balik terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam kasus dugaan korupsi izin tambang nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Novel menilai kewenangan penerbitan SP3 yang dimiliki KPK saat ini membuka celah intervensi dalam penegakan hukum. Kewenangan tersebut merupakan dampak dari revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

“Dengan kewenangan SP3, KPK menjadi lebih mudah diintervensi dalam menangani perkara,” kata Novel di Jakarta, Senin (29/12/2025).

Ia menegaskan sejak awal menolak revisi UU KPK yang memberikan kewenangan penghentian penyidikan kepada lembaga antirasuah. Menurutnya, kewenangan tersebut berisiko melemahkan kehati-hatian KPK dalam menaikkan perkara dari tahap penyelidikan ke penyidikan hingga penetapan tersangka.

“Kewenangan SP3 berpotensi membuat KPK tidak cukup berhati-hati, baik saat menaikkan perkara maupun ketika menetapkan seseorang sebagai tersangka,” tegas Novel.

Novel menilai alasan tersebut seharusnya diuji di pengadilan, bukan dihentikan di tahap penyidikan. Ia mengingatkan penghentian perkara strategis bernilai triliunan rupiah berpotensi meruntuhkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Sebelumnya diinformasikan, KPK menerbitkan SP3 terhadap kasus dugaan korupsi izin pengelolaan tambang nikel di Konawe Utara yang menjerat mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo menjelaskan penghentian penyidikan dilakukan karena dugaan penerimaan suap terjadi pada 2009 dan dinilai telah kedaluwarsa ketika disidik kembali pada 2025. Selain itu, KPK menilai alat bukti terkait kerugian keuangan negara belum mencukupi.

Baca Juga  MAKI: KPK “Telmi” Serius Hentikan Kasus Izin Tambang Nikel Konawe Utara Rp 2,7 Triliun

Dalam perkara ini, KPK sebelumnya menyebut indikasi kerugian negara mencapai sekitar Rp2,7 triliun, berasal dari penjualan hasil produksi nikel yang diduga dilakukan melalui perizinan yang melawan hukum. Aswad Sulaiman juga diduga menerima aliran dana sekitar Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan tambang pada periode 2007–2009.***

*) Penulis: R Giordano

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *