MAKLUMAT — Masalah terbesar kepemimpinan di negeri ini bukan kurangnya figur, melainkan ketidakmampuan berhenti. Banyak pemimpin tampak bekerja keras, hadir di mana-mana, berbicara tentang apa saja. Namun di balik semua itu, ada satu kegelisahan yang sulit disembunyikan yaitu takut tidak lagi dibutuhkan, Takut tak lagi dipanggil, Takut tak lagi dianggap relevan.

Ketakutan itu membuat sebagian pemimpin sulit membaca waktu. Mereka bertahan bukan karena masih diperlukan, tetapi karena belum siap menepi. Kekuasaan tidak lagi diperlakukan sebagai amanah yang memiliki batas, melainkan sebagai perpanjangan ego yang harus dijaga terus menerus.
Akibatnya, ruang publik menjadi bising. Pernyataan demi pernyataan keluar, sering kali tanpa bobot baru. Kehadiran dijadikan ukuran kepedulian, sementara ketidakhadiran dicurigai sebagai kemunduran. Dalam situasi seperti ini, diam dianggap lemah, mundur dianggap kalah.
Padahal, dalam tradisi kepemimpinan yang matang, justru berlaku sebaliknya.
Dalam falsafah Jawa, dikenal konsep lengser keprabon sebuah diksi tajam tentang turun dari kekuasaan bukan karena gagal, melainkan karena tahu batas dan tahu waktu. Lengser bukanlah aib yang memalukan justru memaksakan diri bertahan ketika peran sudah selesai.
Sayangnya, etika semacam ini semakin jarang ditemukan. Banyak pemimpin lebih sibuk menjaga sorotan ketimbang menyiapkan keberlanjutan. Regenerasi dipersepsikan sebagai ancaman, bukan keniscayaan. Institusi menjadi rapuh karena terlalu bergantung pada figur.
Di titik inilah kepemimpinan berubah menjadi persoalan personal. Sistem tidak dikuatkan agar berjalan mandiri, tetapi dijaga agar tetap membutuhkan satu orang. Ketika seorang pemimpin absen, roda ikut tersendat. Itu bukan tanda kepemimpinan yang kuat, melainkan ketergantungan yang disamarkan sebagai loyalitas.
Ironisnya, pelajaran tentang kepemimpinan justru kerap ditemukan jauh dari ruang-ruang kekuasaan. Di angkringanlah tempat orang duduk setara tanpa protokol, tidak ada lomba siapa paling sering bicara, tetapi kemerduan didengar bukan yang paling keras, melainkan yang paling relevan, karena tidak ada panggung yang harus direbut, sehingga tidak ada kegelisahan kehilangan sorotan.
Di sana, mundur tidak selalu berarti kalah. Diam tidak otomatis berarti absen. Kehadiran justru diukur dari sejauh mana suasana tetap hidup tanpa perlu mendominasi.
Prinsip ini seharusnya berlaku dalam kehidupan berbangsa. Pemimpin yang matang tidak sibuk memastikan dirinya selalu hadir. Ia sibuk memastikan sistem bekerja meski dirinya tidak ada. Ia tidak panik ketika namanya tak lagi disebut, karena pengaruhnya tidak bergantung pada mikrofon.
Yang berbahaya bukan ketika seorang pemimpin tidak lagi dipanggil bicara. Yang berbahaya adalah ketika ia terus bicara hanya agar tetap dipanggil.
Bangsa ini tidak kekurangan pemimpin yang pandai tampil. Yang langka adalah pemimpin yang bersedia menyelesaikan dirinya sendiri ( rampung dengan ambisi, rampung dengan gengsi, rampung dengan kebutuhan untuk terus dianggap penting).
Sejarah tidak mencatat siapa yang paling lama berkuasa atau paling sering muncul di layar. Sejarah mencatat siapa yang tahu kapan harus berhenti, kapan harus menepi, dan kapan harus memberi ruang.
Dalam politik maupun kehidupan, tidak semua kemunduran adalah kemerosotan. Kadang, ia justru tanda kedewasaan tertinggi tahu kapan pulang, tanpa perlu membuat kegaduhan.***