MAKLUMAT – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu kebijakan paling kontroversial sepanjang 2025. Alih-alih hanya menghadirkan janji peningkatan gizi anak, program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka ini justru menyedot anggaran negara dalam jumlah besar dan diiringi rentetan persoalan serius, mulai dari tata kelola hingga keselamatan siswa.
Namun sejak awal, MBG langsung menimbulkan beban fiskal besar. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana awalnya mengelola anggaran Rp71 triliun, yang diperkirakan hanya cukup menjangkau 15 hingga 17,5 juta penerima. Dadan kemudian mengajukan tambahan Rp100 triliun kepada Presiden Prabowo agar cakupan MBG dapat diperluas hingga 82,9 juta orang.
Seiring perjalanan program, Presiden Prabowo mengumumkan penambahan anggaran MBG dari Rp 71 triliun menjadi Rp 100 triliun. Namun ironisnya, Dadan justru mengembalikan Rp 70 triliun ke kas negara dengan alasan rendahnya serapan anggaran. Presiden bahkan menyebut langkah tersebut sebagai peristiwa langka dalam sejarah pengelolaan keuangan negara.
Data Kementerian Keuangan menunjukkan hingga 15 Desember 2025, MBG telah menyerap Rp52,9 triliun atau 74,6 persen dari total pagu Rp71 triliun. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut jumlah penerima manfaat telah mencapai 50,7 juta orang yang dilayani oleh 17.555 SPPG.
Ke depan, skala MBG justru semakin membesar. DPR RI menyetujui anggaran MBG dalam RAPBN 2026 sebesar Rp335 triliun. Dana itu diambil dari sektor pendidikan Rp223 triliun, kesehatan Rp24,7 triliun, dan sektor ekonomi Rp19,7 triliun. Pemerintah mengklaim MBG akan menciptakan hingga 1,5 juta lapangan kerja melalui keterlibatan UMKM, koperasi, dan BUMDes.
Di tengah ambisi tersebut, kualitas menu MBG menuai kritik tajam. Publik ramai menyoroti penggunaan Ultra Processed Food (UPF) seperti nugget, sosis, dan biskuit olahan dalam menu MBG.
Ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen menilai praktik itu menyimpang dari tujuan awal program dan justru menyeret MBG ke dalam kepentingan industri pangan. Indonesia telah memiliki panduan gizi berbasis pangan lokal yang seharusnya menjadi acuan.
“Yang terjadi sekarang justru jauh dari semangat itu,” sesalnya.
Sementara itu, BGN melalui Dewan Pakarnya, Ikeu Tanziha menyatakan UPF tidak dilarang selama dikonsumsi secara wajar dan memenuhi standar BPOM. Meski demikian, perdebatan soal kualitas gizi tak kunjung mereda.
Persoalan MBG tidak berhenti pada anggaran dan menu. Sejak diluncurkan, program ini berkali-kali memicu insiden keracunan massal siswa. Kasus pertama terjadi di Sukoharjo, Jawa Tengah, hanya 11 hari setelah program berjalan. Puluhan siswa dilarikan ke puskesmas akibat ayam tepung yang disajikan.
Puncaknya terjadi di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, pada September 2025, ketika lebih dari seribu siswa mengalami gejala keracunan. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat total korban keracunan MBG mencapai 20.012 siswa per 23 Desember 2025. Angka tersebut dinilai belum sepenuhnya mencerminkan kondisi di lapangan.
Sedangkan data BGN menyebut jumlah siswa yang keracunan mencapai 13.371 orang, dengan 636 siswa harus dirawat inap. BGN mengklaim terus menyinkronkan data dengan Kementerian Kesehatan.
Tragedi lain terjadi di Jakarta Utara ketika mobil SPPG menabrak 20 siswa dan satu guru di SDN Kalibaru 01, Cilincing, saat kegiatan literasi pagi. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai insiden itu sebagai dampak langsung kebijakan populis yang dipaksakan tanpa perencanaan dan infrastruktur keselamatan yang memadai.
LBH menegaskan negara telah gagal menempatkan anak sebagai subjek hak yang wajib dilindungi, sebagaimana diamanatkan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia.
Sepanjang 2025, MBG pun tercatat bukan hanya sebagai program sosial berskala raksasa, tetapi juga sebagai kebijakan yang menyisakan tanda tanya besar soal prioritas anggaran, tata kelola, dan perlindungan anak.***