Kilas Balik 2025: Gagal Bayar Fintech Beruntun, Dari Akseleran hingga Dana Syariah Indonesia

Kilas Balik 2025: Gagal Bayar Fintech Beruntun, Dari Akseleran hingga Dana Syariah Indonesia

MAKLUMAT – Industri fintech peer to peer lending mencatat pertumbuhan kinerja sepanjang 2025. Namun di balik angka pembiayaan dan laba yang meningkat, sektor ini juga menghadapi krisis kepercayaan akibat serangkaian kasus gagal bayar yang melibatkan sejumlah platform besar.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan outstanding pembiayaan fintech P2P lending mencapai Rp 92,92 triliun per Oktober 2025, tumbuh 23,86 persen secara tahunan. Laba industri juga naik signifikan hingga Rp 2,09 triliun. Meski demikian, masalah gagal bayar tetap menjadi titik rawan yang membayangi industri.

Sepanjang 2025, kasus gagal bayar mencuat di beberapa platform, mulai dari PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia, PT Crowde Membangun Bangsa, hingga fintech syariah PT Dana Syariah Indonesia (DSI). Di saat bersamaan, kasus lama PT Investree Radhika Jaya akhirnya memasuki babak penegakan hukum dengan ditangkapnya mantan CEO Adrian Gunadi.

Akseleran Tersendat, Gagal Bayar Terjadi Bersamaan

Kasus Akseleran mencuat pada awal 2025 setelah enam borrower gagal mengembalikan pinjaman dalam waktu yang bersamaan. Manajemen mengakui sebelumnya sempat melakukan refinancing berulang sebagai upaya pemulihan pendanaan. Namun langkah tersebut justru berujung pada gagal bayar serentak ketika refinancing dihentikan.

OJK merespons dengan menjatuhkan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha (PKU). Hingga akhir 2025, penyelesaian masih bergantung pada penagihan borrower dan proses litigasi. OJK menyatakan terus memantau dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran tata kelola di internal perusahaan.

Baca Juga  Haedar Nashir Ingatkan Tema Besar Milad Nasyiatul Aisyiyah Jangan Berhenti pada Seremonial

Crowde Dicabut Izinnya

Kasus lebih serius terjadi pada PT Crowde Membangun Bangsa. OJK mencabut izin usaha Crowde pada November 2025 setelah menemukan pelanggaran ketentuan ekuitas minimum serta dugaan penggelapan dana kredit dari PT Bank JTrust Indonesia Tbk.

OJK menilai Crowde tidak dapat disehatkan setelah gagal memenuhi kewajiban permodalan dan perbaikan kinerja. Selain pencabutan izin, regulator juga menetapkan sanksi terhadap CEO dan Co-Founder Crowde serta mendorong proses penegakan hukum atas dugaan tindak pidana.

Dana Syariah Indonesia Terjerat Gagal Bayar Rp 1,3 Triliun

Masalah juga melanda fintech berbasis syariah PT Dana Syariah Indonesia (DSI). OJK menjatuhkan sanksi PKU sejak 15 Oktober 2025 akibat tertundanya pengembalian dana dan imbal hasil kepada lender.

Data Paguyuban Lender DSI mencatat dana tertahan mencapai Rp 1,32 triliun per pertengahan Desember 2025. Manajemen DSI menargetkan penyelesaian kewajiban dalam jangka waktu satu tahun melalui pembentukan Badan Pelaksana Penyelesaian (BPP), penagihan borrower, dan penjualan aset agunan.

Namun, para lender menilai proses penyelesaian masih berjalan lambat dan belum menunjukkan kepastian. OJK menyatakan akan memantau ketat realisasi pembayaran tahap demi tahap.

Investree: Akhir Pelarian Adrian Gunadi

Di tengah berbagai kasus gagal bayar, penegakan hukum terhadap PT Investree Radhika Jaya menjadi sorotan. OJK berhasil membawa pulang mantan CEO Investree Adrian Gunadi dari Doha, Qatar, pada September 2025.

Baca Juga  TNI Dinilai Represif Respons Pengibaran Bendera Bulan Bintang, JARA: Harusnya Lindungi Warga, Bukan Jadi Sumber Ketakutan

Adrian diduga menghimpun dana masyarakat secara ilegal melalui perusahaan special purpose vehicle dengan kerugian mencapai Rp 2,7 triliun. Proses hukum masih berjalan, sementara OJK terus mengawasi likuidasi Investree dan pendaftaran klaim para lender.

Alarm Tata Kelola Fintech

Rentetan kasus gagal bayar sepanjang 2025 menjadi alarm serius bagi industri fintech lending. Meski pertumbuhan masih terjaga, lemahnya tata kelola, manajemen risiko, dan pengawasan internal berpotensi menggerus kepercayaan publik jika tidak segera dibenahi.

OJK menegaskan komitmennya untuk memperketat pengawasan, menegakkan sanksi, serta memperkuat perlindungan konsumen agar industri fintech tidak hanya tumbuh secara angka, tetapi juga sehat secara fundamental.

*) Penulis: R Giordano

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *