FEDERASI Serikat Pekerja (FSP) Logam Elektronik dan Mesin (LEM/SPSI) mengumumkan bakal menggelar unjuk rasa besar-besaran untuk menolak kebijakan terkait tabungan perumahan rakyat (Tapera). Aksi massa rencananya akan digelar di Kompleks Istana Negara, Jakarta pada Kamis, 27 Juni 2024 mendatang.
Ketua DPC FSP LEM SPSI Jakarta Timur, Endang Hidayat menyebut, rencana aksi tersebut telah disepakati sejumlah konfederasi atau organisasi perkumpulan buruh dan akan digelar dalam skala nasional. Dia mengklaim, sekitar 10 ribu sampai 20 ribu massa bahkan lebih, akan berpartisipasi dalam unjuk rasa tersebut.
“Kami dari DPD FSP LEM SPSI DKI Jakarta menolak Tapera dan rencananya secara nasional di tanggal 27 Juni. Kami pun akan aksi menyampaikan bahwasannya tolak Tapera dan cabut untuk selamanya,” kata Endang, Selasa (11/6/2024).
Kebijakan soal Tapera ini sendiri telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2024, di mana iuran Tapera akan memotong 2,5 persen gaji pekerja, baik swasta maupun PNS dan 0,5 persen ditanggung perusahaan.
Endang menilai keberadaan Tapera hanya akan memberatkan dan menyengsarakan buruh yang sebelumnya telah terbebani dengan Undang-Undang (UU) Nomor 5/2023 tentang Cipta Kerja alias Omnibus Law.
Menurut dia, adanya kebijakan tersebut juga tidak memberikan jaminan bahwa akan lebih memudahkan atau menjamin para pekerja Indonesia untuk memiliki rumah hunian.
“Dengan tabungan tidak ada jaminan dari tapera semua buruh mempunyai rumah di Republik Indonesia,” ujarnya.
Tak hanya itu, Endang juga menyebut, pembentukan komite Tapera tidak menyertakan unsur dari perwakilan buruh. Berbeda dengan BPJS yang menyertakan perwakilan dari buruh untuk menjadi pengawasnya. Karena kondisi tersebut, menurutnya, Tapera adalah bagian daripada politis yang dibuat oleh pemerintah.
“Tapera adalah bagian daripada politis yang dibuat oleh pemerintah, tidak ada perwakilan dari buruh, di situlah akan bisa diduga terjadi kebocoran-kebocoran dana yang ditabung oleh buruh, oleh buruh Indonesia baik ASN maupun buruh swasta. Disini dampaknya akan lebih menyengsarakan buruh, karena dengan ditabung dipaksa tapi tidak ada kontroling di Tapera-nya,” ungkapnya.
Senada, Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) Apindo DKI Jakarta, Solihin juga menyatakan keberatannya atas Tapera. Dia memandang, aturan tersebut juga berpotensi akan menambah beban para pemberi kerja dan pekerja di sektor swasta yang sebelumnya telah dibebankan sejumlah potongan.
Berdasarkan perhitungannya, secara keseluruhan pekerja dan pengusaha telah dibebankan potongan hingga 18,24% sampai 19,74% yang terdiri atas potongan jaminan sostek, jaminan hari tua (JHT), hingga jaminan kesehatan. Ia juga menyoroti keberadaan program BPJS Ketenagakerjaan yakni Manfaat Layanan Tambahan (MLT) yang serupa Tapera.
“Selama sosialisasi Tapera sejak 2016 DPP Apindo DKJ sudah sampaikan keberatan untuk perusahan swasta. Karena atas potongan itu, BPJS Ketenagakerjaan telah menyampaikan program serupa yakni MLT. Dikhawatirkan Tapera ini malah jadi tumpang tindih, pungutannya akan menjadi beban tambahan,” kata Solihin.
“Sebagai asosiasi yang menaungi dunia usaha, dunia usaha dan pekerja yang terdampak, kami hendak sampaikan untuk membatalkan. Kita menuntut untuk membatalkan implementasi Tapera sebagai kewajiban,” imbuh dia.
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto