JUDI online belakangan ini menjadi isu yang sangat mencemaskan. Betapa tidak. Di tengah kondisi perekonomian nasional yang tidak baik-baik saja, ternyata prevalensi masyarakat yang terlibat dalam praktik judi online justru meningkat tak terkendali. Meski untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari banyak masyarakat tengah kesulitan, justru hal itu menjadi pendorong mereka makin adiktif mengadu nasib. Berjudi menjadi jalan keluar mengatasi tekanan kehidupan yang terus menjejak.
Menurut catatan PPATK, selama beberapa tahun terakhir perputaran uang di judi online terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2021, perputaran uang di judi online tercatat hanya sekitar Rp 51 triliun. Tetapi di tahun 2022, perputaran uang di judi online meningkat menjadi Rp 80 triliun, dan melonjak signifikan di tahun 2023 menjadi Rp 327 triliun. Ini adalah jumlah yang luar biasa besar.
Hingga Maret 2024, menurut data PPATK, total transaksi judi online di Indonesia telah mencapai lebih dari Rp 600 triliun lebih. Di tahun 2024 ini saja, tiga bulan pertama atau kuartal pertama perputaran uang judi online sudah mencapai lebih dari Rp 100 triliun. Jadi, jika dijumlah dengan periode sebelumnya, total uang yang masuk dalam pusaran judi online sudah lebih dari Rp 600 triliun. Bisa dibayangkan, apa manfaat yang bisa dihasilkan jika uang sebanyak ini tidak musnah masuk ke kantong bandar-bandar judi online di luar negeri? Uang sebanyak Rp 600 triliun yang setara dengan 20 persen dari total APBN tentu bisa dipergunakan untuk menolong jutaan keluarga miskin yang ada di berbagai daerah di Indonesia.
Kelas Menengah
Saat ini diprediksi sebanyak 2,37 juta penduduk di Indonesia menjadi pelaku judi online. Dari jumlah tersebut, 2 persen atau sekitar 47.400 di antaranya merupakan anak-anak dengan usia di bawah 10 tahun. Selain itu, jumlah terbanyak pemain judi online berada pada rentang usia 30-50 tahun dengan persentase mencapai 40 persen atau sekitar 948.000 penduduk.
Dari total 2,37 juta pelaku judi di tanah air, sebanyak 80 persen tergolong kalangan menengah ke bawah. Untuk kelas menengah ke bawah, transaksi mereka biasanya antara Rp 10.000 sampai dengan Rp 100.000. Sedangkan untuk transaksi kelas menengah ke atas, nominalnya bervariasi antara Rp 100.000 hingga Rp 40 miliar.
Meski para penjudi online Sebagian besar didominasi masyarakat miskin, tetapi bukan berarti tidak ada kelas menengah yang terlibat judi online. Memang, secara teoritis, masyarakat yang secara ekonomi rentan seringkali lebih rawan terjerat dalam praktik judi online karena berharap hal itu menjadi jalan keluar dari berbagai persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi. Tetapi, masyarakat kelas menengah yang tidak memiliki persoalan ekonomi bukan berarti tidak rawan tergoda terlibat dalam praktik judi online.
PPATK belum lama ini merilis data yang mengejutkan. Dilaporkan sekitar 1.000 lebih anggota dewan mulai tingkat pusat hingga daerah ternyata terlibat dalam transaksi judi online. Dari anggota dewan yang terlibat, PPATK mengungkap jumlah transaksinya mencapai 63 ribu dengan angka transaksi bisa menyentuk ratusan juga hingga miliaran rupiah per orang. Di masyarakat, berbagai profesi lain yang termasuk profesi elit, seperti dokter, pengacara, pengusaha dan lain-lain, ternyata ada pula yang terlibat praktik judi online. Secara garis besar, faktor penyebab judi online adalah:
Pertama, tidak berbeda dengan masyarakat miskin, kelas menengah pun tampaknya mengidap mentalitas jalan pintas. Artinya, meski secara ekonomi berkecukupan, mereka tampaknya tetap tak pernah puas dengan apa yang telah dicapai. Apa yang menjadi mimpi mereka adalah bagaimana bisa mendongkrak dan mencapai status sebagai kelas menengah atas secara instan. Meraih kenaikan status bukan melalui tahap-tahap yang realistis melalui pengembangan usaha inovatif dan lain-lain, tetapi yang dibayangkan adalah bagaimana mengubah nasib seperti bermain sulap.
Kedua, berkaitan dengan pengaruh godaan gaya hidup dan cerita sukses Sebagian selebriti yang acap kali ditampilkan di berbagai platform media sosial. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kisah hidup Sebagian selebriti yang begitu glamour menjadi acuan bagi para pemimpi, termasuk kelas menengah untuk bisa masuk dalam pusaran kelas yang sama. Bisa dibayangkan siapa yang tidak tergoda ketika melihat ada selebriti yang menampilkan deretan mobil mewah yang harganya miliaran rupiah, memiliki rumah bak istana, memiliki pesawat pribadi, dan berbagai barang mewah lain.
Ketiga, karena tergoda tawaran dan iklan yang dibagikan bandar judi online ke dunia maya. Kelas menengah yang terbiasa mengakses internet dan sudah terbiasa berselancar di dunia maya, mereka bukan hanya tergoda pada hal-hal negative seperti cyber porn, paham radikalisme dan lain sebagainya, tetapi tak jarang juga godaan terlibat dalam praktik judi online. Judi online bukan sekadar komoditi yang pasif, tetapi secara aktif ditawarkan secara masif. Bagi orang-orang yang tidak bisa mengendalikan hasratnya, maka bukan tidak mungkin mereka pada suatu titik akan berkeinginan untuk mencoba judi online. Bisa saja awalnya coba-coba, tetapi sekali mereka masuk dalam pusaran judi online, maka cepat atau lambat mereka akan tergoda dan menjadi adiktif.
Kunci
Kesulitan memberantas judi online secara teknis berkaitan dengan pola pengoperasiannya yang dilakukan para bandar di luar negeri. Selama ini, kita tahu bahwa uang dari para penjudi hilang begitu saja ke luar negeri karena berbagai server judi online berasal dari luar Indonesia dan dikelola oleh pihak asing. Meski sudah sekian kali pemerintah menutup situs-situs judi online, tetapi dalam hitungan detik sudah muncul situs lain yang menawarkan judi online yang sama.
Untuk memberantas judi online niscaya tidak cukup hanya dengan upaya penegakan hukum dan juga melakukan perbaikan kondisi ekonomi masyarakat. Kunci untuk mencegah masyarakat tidak masuk dalam godaan judi online adalah tergantung pada kemampuan literasi keuangan dan sikap kritis masyarakat.
Kelas menengah adalah golongan masyarakat yang Sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. Mereka umumnya juga memiliki status sosial yang terhormat di masyarakat. Tetapi, itu semua bukan jaminan pasti memiliki literasi dan kesadaran yang kuat menahan godaan tidak masuk dalam pusaran judi online.
Di sini peran keluarga dan habitus sosial sangatlah besar untuk menjaga agar masyarakat dan kelas menengah tidak khilaf dan tergoda melakukan praktik judi online. Masyarakat yang teralienasi dan mengalami anomie secara sosial, jangan kaget jika mereka rentan masuk dalam pusaran judi online.
Bagong Suyanto, Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga (Unair)
Tulisan ini sudah pernah terbit dan dimuat dengan judul yang sama, di Majalah MATAN edisi 217: Agustus 2024