MAKLUMAT – Mungkin hanya Muhammadiyah satu-satunya yang masih terbuka, egaliter, dan demokratis. Orang bisa keluar masuk tanpa permisi. Karyawan amal usaha bahkan pimpinan atau direktur bisa menjabat tanpa nomor anggota. Sebab, nomor keanggotaan di Muhammadiyah dianggap oleh sebagian tidak begitu urgent karena tidak jelas kemanfaatannya.
Seorang ustadz misalnya, bisa khutbah dan tausiyah di masjid dan jamaah Muhammadiyah tanpa nomor anggota, belum pernah ikut baitul arqam, bahkan tidak tau kapan tanggal lahir Muhammadiyah. Seorang guru juga leluasa mengajarkan Al Islam dan ke-Muhammdiyahan pada jam terakhir meski tidak pernah aktif dan dikenal sebagai anggota Muhammadiyah.
Calon pimpinan Cabang, Daerah dan Wilayah baru ngurus NBM (nomor baku Muhammadiyah) sebagai persyaratan dua menit menjelang penetapan calon pimpinan di ketuk. Hanya di Muhammadiyah seseorang bisa mengelola amal usaha dengan nilai puluhan hingga ratusan milyar tanpa nomor anggota, apalagi baiat.
Jamaah dan anggota boleh dari manapun, tapi pimpinan dan pemegang amal usaha adalah anggota yang sudah baiat. Itulah makna nasehat Kyai Ahmad Dahlan: Jangan Menduakan Muhammadiyah.
Tujuan HTI bikin khilafah. FPI bikin daulah. Salafi negeri syariah. Pun dengan jamaah ansharut tauhid mujahidin Indonesia bahkan hingga ISIS dan rumpun ideologi tarbiya, dakwahnya adalah politik sebagai tiang utama. Tesisnya adalah Syariah Islam bisa tegak dengan khilafah. Meski konsen di politik, anehnya tak ada satupun yang ikut Pemilu. Bahkan sekelas Partai Pembebas atau HT hanya mandeg pada kajian tentang khilafah tidak lebih.
Muhammadiyah menjunjung tinggi agama Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Nahdlatul Ulama (NU) memperkuat kesetiaan Islam kepada salah satu dari empat Madzhab dan untuk melaksanakan kegiatan yang bermanfaat bagi para anggotanya sesuai dengan ajaran Islam. NU kokoh dan digdaya dengan ideologi Aswaja.
Dari tujuan masing-masing sebaiknya paham dengan cara dan strategi mana tujuan di usahakan. Karena tujuan yang berbeda berbeda pula cara pandang perspektif dan paradigma tentang Islam negara budaya dan lainnya.
Di tengah keterbukaan yang masif, maka Muhammadiyah layaknya membentengi diri. Ribuan amal usaha dengan omset ratusan triliun tak cukup dikelola dengan ikhlas atau mengedepankan profesionalitas. Sementara harakah lainnya sudah memperkokoh ideologinya untuk membentengi jamaah berikut jamaah dan semua asetnya.
FPI dan HTI ada baiat agar tak semua orang bisa leluasa masuk dan keluar. Salafi menggunakan sistem al wala wal bara agar jamaahnya tak sembarang mengaji pada ustadz yang terpapar bid’ah atau sub-hat. Rumpun tarbiyah menerapkan kader berjenjang sebagai filter para kadernya.
Semua ikhtiar adalah niscaya, tak ada salahnya Muhammadiyah mulai memikirkan pengkaderan yang sistemik, militan dan doktriner, meski hal demikian tak lazim. Ketidakberdayaan Muhammadiyah terhadap infiltrasi salafi dan harakah sejenis membuktikan bahwa Muhammadiyah tak punya sistem imun yang kokoh yang bisa menjaga dan melindungi dari infiltrasi ideologi. Sebuah ikhtiar yang patut direnungi di tengah perubahan yang cepat. Wallahu ta ala a’lm.
Nurbani Yusuf, Penulis adalah Pegiat Komunitas Padhang Makhsyar