19.6 C
Malang
Jumat, September 20, 2024
OpiniPolitik sebagai Kebaikan dan Drama

Politik sebagai Kebaikan dan Drama

Mansurni Abadi

MAKLUMAT – Aristoteles dalam The Republic menyebut politik sebagai architectonia (ilmu utama), yang mengandaikan keanekaragaman teknik dan kecakapan. Politik, menurutnya, adalah ilmu yang menuntut mereka yang terlibat di dalamnya untuk memiliki kemampuan dalam mencapai kebaikan bersama melalui penyelesaian masalah di masyarakat. Pemikiran ini diuraikan oleh Bagus Takwin dalam esainya yang berjudul “Etika Politik: Pengantar Menimbang Ulang Politik,” di mana politik dipahami sebagai relasi antara tindakan mengatur (archein) dan diatur (archesthai).

Namun, kenyataan di lapangan sering kali tidak sejalan dengan teori. Di kehidupan sehari-hari, politik sering kali dianggap hanya sebagai alat untuk menguasai sumber daya strategis melalui kekuasaan yang diperoleh dengan memanfaatkan kekuatan rakyat yang dibungkus oleh janji-janji ideal dan citra yang dipaksakan.

Realitas politik yang mengabaikan esensi dan lebih mengutamakan aspek-aspek dangkal, seperti penampilan, popularitas, dan kelucuan, kerap kali menjadi sorotan. Fenomena artis yang dikenal dengan konten blusukannya, misalnya, memantik pro dan kontra di ruang publik. Namun, jika kita hanya menyalahkan sisi pemainnya, tanpa melihat peran partai politik dan masyarakat yang mendukungnya, kita justru menciptakan efek sampingan yang bisa memenangkan calon tersebut.

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan gerakan alternatif yang tidak hanya melawan praktik politik yang tidak etis tetapi juga mendidik masyarakat tentang hal-hal penting dalam konteks politik. Masyarakat perlu disadarkan agar tidak terjebak dalam keputusan politik yang salah, sebagaimana digambarkan dalam alegori “Kapalnya Orang-Orang Tolol” karya Theodore John Kaczynski, di mana kapal terus berlayar ke arah yang salah sementara para awak kapal terjebak dalam persoalan remeh, hingga kapal tersebut tenggelam menabrak gunung es.

Sejarah politik yang kelam sering kali berulang, bahkan ketika menjadi tragedi, tidak dijadikan pembelajaran, melainkan dianggap sebagai kebiasaan yang harus diterima. Pendapat yang menyatakan bahwa manusia tempatnya salah dan karenanya kita hanya bisa memilih yang paling sedikit keburukannya (lesser evil) sering kali muncul.

Pada akhirnya, politik sering kali menjadi sekadar drama, dengan dua kemungkinan hasil: tragedi atau komedi. Dalam sejarah Yunani kuno, rumusan drama tragedi ditulis oleh Aeschylos, Euripides, dan Sophocles, sementara komedi ditulis oleh Aristophanes. Di era modern, kita bisa menafsirkan sendiri siapa yang menciptakan komedi dan siapa yang menciptakan tragedi. Namun, yang jelas, partai politik sebagai medium penting dalam politik memiliki peran besar dalam menentukan arah politik kita ke depan, apakah hanya akan menjadi drama, komedi, atau benar-benar mengarah pada kebaikan bersama.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tidak hanya mengoreksi calon yang diajukan oleh partai politik, tetapi juga partai politik itu sendiri. Perbincangan kita tidak boleh terjebak pada persoalan hak warga negara untuk memilih dan dipilih, apalagi menyederhanakannya menjadi urusan suka atau tidak suka di bilik suara. Memang, dalam hal hak, tidak ada yang dilanggar, namun hak juga menuntut kewajiban untuk memahami permasalahan rakyat yang memerlukan kemampuan, pengalaman, dan ide, yang mungkin tidak disadari oleh si calon.

Dalam urusan suka atau tidak suka di bilik suara, hal ini juga tidaklah penting, apalagi jika kampanye yang dijalankan justru membuka peluang kemenangan dengan cara-cara yang tidak terduga dan sistem pemilihannya nanti kembali menuai sengketa saat hasilnya keluar.

Yang perlu kita persoalkan adalah ide dan rekam jejak si calon sejak awal, serta komitmen partai politik untuk mendengar aspirasi masyarakat dari wilayah yang hendak dimenanginya. Partai politik seharusnya menempatkan orang-orang yang capable berdasarkan riset elektoral. Namun, hal ini sering kali sulit dilakukan mengingat banyak partai politik yang terasing dari aspirasi publik, lebih berfokus pada tren yang cepat membuka peluang kemenangan.

Karena itu, kemampuan dan pengalaman sering kali kalah dengan ketenaran, kelucuan, dan ketampanan. Maneuver partai politik, yang lebih mengedepankan tren daripada pendalaman politik sebagai medium untuk kebaikan bersama, mencerminkan betapa politik sering kali dipandang hanya sebagai drama, bukan sebagai upaya mencapai kebaikan bersama.

Mansurni Abadi, Penulis adalah Mantan pengurus RPK IMM Malaysia

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer