MAKLUMAT — Sepanjang sejarah, upaya membangun masyarakat yang adil dan makmur selalu menghadapi satu hambatan besar, yakni manusia itu sendiri. Kelemahan, hawa nafsu, dan kecenderungan untuk berbuat zalim kerap menjadi penghalang untuk dapat memimpin masyarakat dengan baik.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang, Prof Imam Suprayogo, menegaskan bahwa negeri ini tidak akan mencapai keadilan dan kemakmuran jika hanya diurus oleh manusia yang dalam Al-Quran disebut insan.
“Sepanjang negeri ini hanya diurus oleh manusia yang di dalam Al-Quran disebut insan, tidak akan meraih tujuannya yang sangat mulia yaitu adil dan makmur,” ujarnya kepada Maklumat.id pada Rabu (20/8/2025).
Imam menjelaskan bahwa manusia digambarkan dalam Al-Quran sebagai makhluk yang lemah dan mudah tergoda hawa nafsu. Sifat-sifat manusia mencakup ingkar kepada Tuhan, melampaui batas, suka mengeluh, merugi, berbuat zalim, lemah, dan gemar berbantah. Ia menekankan bahwa untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, sifat-sifat manusia ini harus dikurangi atau diperlemah.
“Manusia disebut baik sekali saja, yaitu di surat At-Tin, segera dikembalikan pada posisi yang serendah-rendahnya. Karena itu, jika penduduk negeri ini ingin adil, makmur, dan sejahtera maka sifat-sifat manusia harus dikurangi atau diperlemah,” katanya.
Imam menekankan pentingnya mikraj agar manusia naik derajat dari insan menjadi mukmin yang bersifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Ia mengingatkan bahwa tanpa proses ini, banyak pemimpin di Indonesia yang masih terjebak pada hawa nafsu, ambisi pribadi, dan kepentingan sesaat. Akibatnya, keputusan yang diambil kerap tidak adil dan kesejahteraan masyarakat sulit tercapai.
Proses mikraj sendiri terjadi melalui salat, tetapi bukan sembarang salat. Salat harus khusyuk, dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa seseorang bertemu Tuhan dalam ibadahnya. Penjelasan ini dapat dipahami melalui QS Al-Baqarah ayat 45-46 dan 125, QS An-Naml ayat 91, serta QS Quraisy ayat 3.
Rektor UIN Maliki Malang Periode 1997-2013 itu juga menegaskan bahwa meskipun organisasi keagamaan dapat memberikan dorongan atau arahan, praktik mikraj tetap bersifat individual. Aspek ritual atau dzahiriyah bisa diseragamkan, tetapi urusan bathiniah atau ruhani tetap pribadi dan tidak dapat dipaksakan secara sistematis.
“Di dalam surat Al-Baqarah ayat 46, salat disebut khusyuk manakala diyakini berhasil bertemu Tuhan. Pertanyaannya, apakah setiap salat bertemu Tuhan. Bertemu Tuhan itulah mikraj. Jika tidak bertemu Tuhan maka artinya tidak khusu’ dan juga tidak mikraj,” katanya.
Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis, dan sebagainya, memiliki cara ibadah tertentu yang berbeda-beda. Meskipun bentuk ritual dapat diseragamkan, pengalaman bathiniyah anggota tetap berbeda, sehingga penerapan ajaran agama selalu bersifat individual.
“Sekedar memberikan gerakan penjelasan tentu bisa dilakukan oleh organisasi apapun tetapi dalam implementasi tetap bersifat individual. Hal yang bisa diseragamkan hanyalah aspek dzahiriyah-nya saja. Sementara itu, agama lebih menyangkut urusan bathin atau ruhani,” tandasnya.