Abdul Mu’ti: Tiga Pelajaran Hijrah Nabi untuk Bangun Peradaban

Abdul Mu’ti: Tiga Pelajaran Hijrah Nabi untuk Bangun Peradaban

MAKLUMAT – Tahun baru Islam 1 Muharam 1447 Hijriah menjadi momentum penting untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas iman serta takwa kepada Allah SWT. Spirit hijrah Nabi Muhammad SAW menjadi inspirasi utama dalam membangun peradaban yang damai dan sejahtera.

Hal itu disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Dr. K.H. Abdul Mu’ti saat menyampaikan tausiyah dalam Refleksi Tahun Baru Islam 1447 H di Masjid Istiqlal, Jakarta, Kamis (26/6/2025). Hadir dalam acara itu Imam Besar Masjid Istiqlal sekaligus Menteri Agama Nasaruddin Umar, sejumlah menteri Kabinet Merah Putih, para duta besar negara sahabat, serta perwakilan ormas Islam.

“Hijrah Rasulullah SAW bersama para sahabat dari Makkah ke Madinah merupakan tonggak penting dalam sejarah peradaban Islam. Itu adalah awal kemenangan dakwah Rasulullah,” kata Abdul Mu’ti dalam keterangan tertulis.

Mu’ti menegaskan, peristiwa hijrah memberikan pelajaran penting bagaimana Rasulullah SAW membangun Yasrib menjadi Madinah—sebuah kota peradaban yang diterangi cahaya iman, dihiasi akhlak, dan diperkuat persaudaraan antarwarga.

Sebagai Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Mu’ti mengisahkan perjalanan Rasulullah yang memasuki Madinah dengan sambutan meriah tanpa pertumpahan darah. “Itu mencerminkan harapan besar masyarakat Yasrib akan kedatangan pemimpin yang membawa perubahan,” tuturnya.

Mu’ti lalu menggarisbawahi tiga langkah penting yang dilakukan Rasulullah setelah tiba di Madinah. Pertama, membangun masjid. “Itu bukan sekadar membangun tempat ibadah, tapi membangun masyarakat baru dengan fondasi iman. Iman menjadi kekuatan yang mempersatukan dan membawa kemajuan,” ujarnya.

Baca Juga  Putusan MK dan Tantangan Bagi Sekolah Swasta Menjaga Mutu Pendidikan

Langkah kedua adalah membangun pasar. Menurut Mu’ti, ini menegaskan pentingnya kekuatan ekonomi. “Kesejahteraan material sama pentingnya dengan kesejahteraan spiritual. Islam menjamin keduanya,” tegasnya. Ia mengutip pandangan Imam Al-Ghazali bahwa salah satu tujuan syariat adalah hifdzul mal—menjaga harta benda, yang menjadi bagian dari jaminan hidup damai dan sejahtera.

Ia juga menyoroti masalah ketimpangan sosial yang muncul karena kesenjangan ekonomi. “Karena itulah Rasulullah membangun pasar setelah masjid. Agar masyarakat bisa hidup adil dan sejahtera,” lanjut Mu’ti.

Langkah ketiga adalah membangun tata kelola kenegaraan lewat Piagam Madinah. “Konstitusi ini menjadi model pemerintahan yang oleh Robert N. Bellah dalam Beyond Belief disebut melampaui zamannya,” jelasnya.

Dari 47 pasal Piagam Madinah, Mu’ti menyimpulkan tiga prinsip utama: inklusi sosial, tanpa diskriminasi, dan tidak ada kelompok yang dimarginalisasi. Ia menekankan bagaimana Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar sebagai wujud nyata integrasi sosial. “Dua komunitas penting itu mendapat kemuliaan karena berhijrah dan berjuang di jalan Allah,” tuturnya.

Mu’ti menutup tausiyahnya dengan ajakan untuk menjadikan semangat hijrah sebagai upaya memperbaiki kualitas pribadi, sosial, kebangsaan, dan peradaban dunia.

Makna Hijrah

Sementara itu,  Menteri Agama sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, dalam sambutannya mengajak umat Islam merefleksikan makna hijrah sebagai momentum transformasi spiritual, intelektual, dan sosial.

Baca Juga  Soal Gugatan ke Presiden Karena Tak Memecat Mendes Yandri, Pakar: Terkesan Dipaksakan

“Bagaimana kita menghayati apa hikmah di balik hijrahnya Rasulullah SAW? Ada hijrah fisik, hijrah intelektual, spiritual, hijrah dari segi waktu, hijrah dari prestasi,” ujar Nasaruddin.

Ia menegaskan, hijrah bukan sekadar perpindahan geografis dari Makkah ke Madinah, tapi awal perubahan besar dalam sejarah umat manusia. “Dari kegelapan menuju pencerahan peradaban,” ucapnya.

Nasaruddin juga mengingatkan pentingnya menjaga kualitas pribadi. “Apa artinya kita memperingati Muharam kalau terjadi penurunan degradasi kualitas individu?” tegasnya.

Ia menjelaskan, keputusan menjadikan hijrah sebagai awal kalender Islam menunjukkan betapa agungnya peristiwa itu. “Banyak pilihan ditawarkan di masa Umar bin Khattab, hingga akhirnya Sayyidina Ali mengusulkan hijrah Rasulullah SAW. Dan para sahabat menyepakatinya,” tuturnya.

Menag menutup dengan refleksi kontemporer. “Hijrah menjadi ajakan untuk selalu memperbaiki diri, dari waktu ke waktu, dari stagnasi menuju kemajuan,” katanya. Ia pun menyampaikan harapan agar semangat hijrah terus hidup lintas zaman. “Kalau ada di antara kita diberikan umur panjang hingga 2.526 M, maka itu juga akan bertepatan dengan 2.526 Hijriah.” (*)

*) Penulis: Aan Hariyanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *