MAKLUMAT — Pakar Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Strategi Pembelajaran dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Endro Dwi Hatmanto SPd MA PhD, menyebut penggunaan artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan oleh kalangan pelajar merupakan bagian dari revolusi digital pendidikan yang tak bisa dielakkan.
Meski begitu, ia mengingatkan agar kemudahan menggunakan AI seharusnya tidak menjadi pengganti otak manusia, melainkan dapat difungsikan sebagai co-pilot dalam proses pembelajaran.
Sebagaimana diketahui, kemajuan teknologi digital yang sangat pesat membawa dampak besar dalam berbagai aspek kehidupan, tak terkecuali di sektor pendidikan. Salah satu inovasi paling mencolok adalah kehadiran kecerdasan buatan di antaranya aplikasi ChatGPT atau sejenisnya, yang kini makin akrab digunakan oleh pelajar dan mahasiswa.

“Dari sudut pandang kognitif, AI ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, AI bisa memberikan dampak positif, seperti memfasilitasi scaffolding cognitive, seperti menyediakan penjelasan tambahan, ilustrasi konsep sulit, atau menawarkan berbagai perspektif,” ujar Endro, dilansir dari laman resmi UMY, Ahad (29/6/2025).
“Namun di sisi lain, jika digunakan secara pasif, misalnya hanya untuk mencari jawaban atau menulis paragraf, AI justru dapat menghambat proses berpikir reflektif dan analitis,” sambungnya.
Endro mewanti-wanti risiko menurunnya kemampuan berpikir kritis dan analitis jika peserta didik hanya bergantung pada AI tanpa terlibat aktif dalam proses kognitifnya.
“Jika AI dijadikan pengganti dalam proses berpikir analitis, peserta didik tidak akan mengalami cognitive struggle, yakni pergulatan intelektual yang justru sangat penting dalam membentuk kemampuan analisis,” tambahnya.
Inovasi Pendidikan Menjawab Tantangan Kemajuan
Lebih lanjut, Endro menilai bahwa tantangan utama atas kemajuan teknologi—termasuk kecerdasan buatan—adalah pada bagaimana kesiapan sistem pendidikan, utamanya tenaga pengajar, dalam membimbing generasi muda agar mampu memanfaatkan teknologi ini secara bertanggung jawab.
“Misalnya, dosen bisa merancang tugas yang mendorong mahasiswa menggunakan AI secara reflektif, bukan sekadar menyalin hasil, tetapi mengkritisi, membandingkan dengan sumber lain, serta menyajikan analisis berdasarkan sudut pandang pribadi,” jelas dosen Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) UMY itu.
Ia menekankan perlunya langkah konkret dalam merespons kehadiran AI. Bukan hanya aspek teknis, namun juga menyangkut kebijakan dan etika penggunaannya. Menurut Endro, pelarangan total penggunaan AI justru kontraproduktif.
“Yang kita perlukan adalah kebijakan yang mendorong eksplorasi, kreativitas, dan inovasi, bukan yang membatasi ruang belajar,” kata dia.
Di sisi lain, literasi AI menurutnya juga menjadi kunci penting yang harus diperkuat. Ia menilai, masih banyak pendidik maupun pelajar masih belum memahami cara kerja AI dan dampaknya terhadap pola pikir. Karena itu, pelatihan dan sosialisasi menjadi kebutuhan mendesak.
“Terakhir, strategi pembelajaran juga perlu diarahkan pada proses dan orisinalitas. Misalnya dengan memberikan tugas berbasis analisis atau presentasi, di mana AI digunakan sebagai alat bantu, bukan sumber kebenaran utama (source of truth),” tandasnya.
“Dengan demikian, AI menjadi bagian dari ekosistem pembelajaran yang memperkuat, bukan merusak kualitas intelektual generasi penerus bangsa,” pungkas Endro.