DIREKTUR Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menyoroti tentang penyesuaian Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mengakomodir putusan Mahkamah Agung (MA) terkait syarat batas usia minimal calon kepala daerah (Cakada).
Menurut Neni, KPU telah salah kaprah dalam menafsirkan putusan MA. Sebab, aturan yang disandarkan sesuai putusan MA tersebut seharusnya diberlakukan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2029. Bukan untuk Pilkada serentak 2024 Bulan November 2024 nanti.
“KPU telah salah kaprah dalam menafsir putusan MA terkait dengan batas usia kepala daerah. Seharusnya aturan tersebut berlaku di pemilihan serentak 2029, bukan untuk pemilihan 2024,” ujarnya kepada Maklumat.id, Kamis (4/7/2024).
Dengan mengakomodir putusan MA untuk Pilkada 2024, Neni menyebut hal itu seolah hanya untuk memberikan karpet merah bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Kaesang Pangarep untuk bisa berkontestasi dalam Pilkada 2024.
“KPU (yang) menindaklanjuti putusan MA dan mengakomodir di PKPU 8 2024, jelas ini memberikan karpet merah untuk Kaesang. Atas nama anak muda dan keadilan konstitusi diakali untuk kepentingan politik pragmatis,” tegas perempuan yang juga menjabat Wakil Sekretaris Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah itu.
Lebih lanjut, Neni menilai pengakomodiran putusan MA dalam PKPU untuk Pilkada serentak 2024 itu seolah mempertaruhkan demokrasi Indonesia, yang akan berada dalam cengkeraman politik dinasti dan oligarki.
“Demokrasi kita (ke depan) hanya akan melahirkan pemimpin yang punya relasi dengan politik dinasti dan oligarki. Dan ini menjadi ancaman nyata untuk demokrasi ke depan,” kritik perempuan asal Bandung tersebut.
“Hanya akan membuka jalan untuk anak muda yang memiliki keterikatan dengan politik dinasti,” sambungnya.
Neni berpendapat, keterbukaan demokrasi akan melahirkan demokrasi yang semakin liberal, layaknya pasar bebas. Hal itu sudah tampak dalam pelaksanaan Pemilu 2024 lalu, yang menurutnya sangat ‘bar-bar’.
Selain itu, sambung Neni, keterbukaan itu hanya akan menguntungkan elit penguasa dan oligarki. Sebab, mereka memiliki modal strumelahirkanktural dan finansial yang besar untuk bisa membeli suara rakyat. Demokrasi akan menjadi semakin pragmatis.
“Keterbukaan demokrasi itu demokrasi yang semakin liberal, seperti pasar bebas. Ibarat pemilu 2024 lalu yang sangat bar-bar. Kompetisi bebas dengan tidak adanya pembatasan biaya kampanye menguntungkan elite penguasa dan oligarki yang bisa membeli suara rakyat. Hal ini juga tidak akan jauh berbeda akan terjadi di Pilkada serentak 2024 nanti,” pungkasnya.
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto