Aliansi BEM Surabaya Soroti Lemahnya Ruang Aman Kebebasan Berpendapat

Aliansi BEM Surabaya Soroti Lemahnya Ruang Aman Kebebasan Berpendapat

MAKLUMAT Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa se-Surabaya (ABS) kembali menyuarakan kegelisahannya terhadap kondisi HAM dan demokrasi di Indonesia. Menurut ABS, kondisi per hari ini masih diwarnai dengan penyempitan ruang sipil, maraknya kriminalisasi aktivis, hingga lambannya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat.

Keresahan itu mereka ekspresikan dalam acara bertajuk Mimbar Bebas Semarak Hari Hak Asasi Manusia (HAM) 2025 pada Rabu malam (10/12/2025) di Universitas W. R. Supratman Surabaya. Acara yang dilakukan dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia ini mengambil tema Kebebasan Bersuara, Hak yang Tidak Boleh Dibungkam.

Dalam acara yang dihadiri puluhan mahasiswa dan masyarakat umum itu, terlihat berbagai poster hingga foto-foto yang menampilkan visual tokoh dan simbol sejarah pelanggaran HAM. Koordinator Umum ABS, Nasrawi menjelaskan bahwa semua ini adalah sebagai pengingat bahwa masih ada luka kolektif bangsa yang belum terselesaikan.

Mahasiswa asal Universitas Muhammadiyah Surabaya (Umsura) itu juga menegaskan bahwa pelanggaran HAM di masa lalu adalah sebuah catatan kelam yang belum sepenuhnya berujung keadilan. Oleh karena itu, menegakkan HAM harus dilakukan secara berkelanjutan dan tidak boleh terputus oleh pergantian generasi.

Ruang Bersuara Belum Sepenuhnya Aman

Nasrawi juga menyampaikan bahwa peringatan Hari HAM Sedunia ini harus menjadi momentum untuk menegaskan kembali komitmen kolektif menjaga ruang demokrasi. Ia menekankan bahwa kebebasan bersuara adalah hak konstitusional yang tidak boleh dinegosiasikan.

Baca Juga  Ketua PWM Jatim Mendapat Tugas Baru di Jakarta, Segera Dilantik Jadi Deputi II Kemenko PMK

“Suara rakyat tidak boleh dibungkam. Ini bukan sekadar peringatan tahunan, tetapi penegasan bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab historis untuk menjaga kebebasan berekspresi,” kata Nasrawi.

Ia juga menyoroti beragam fenomena pembatasan ruang sipil. Hal itu berupa intimidasi terhadap para pengkritik kebijakan, serangan digital kepada aktivis, hingga tekanan terhadap gerakan mahasiswa di kampus. Menurutnya, tanda-tanda ini harus menjadi alarm bagi publik bahwa demokrasi membutuhkan penjaga.

Delapan Tuntutan ABS

Pada momen ini, ABS juga menyampaikan tuntutan moral yang ditujukan kepada negara, yang telah disepakati melalui konsolidasi sebelumnya, antara lain:

Pertama, menuntut pemerintah untuk memastikan pemerataan pembangunan dan akses layanan publik di seluruh daerah dan wilayah tanah air, termasuk infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.

Kedua, mengadili seluruh pelaku pelanggaran HAM di masa lalu.

Ketiga, melakukan audit total dan transparan terhadap seluruh Proyek Strategi Nasional (PSN). Negara harus membatalkan izin dan menghentikan operasional pihak yang terbukti melanggar HAM, khususnya terkait hak atas tempat tinggal, pangan, dan lingkungan hidup yang sehat.

Keempat, menolak proyek reklamasi Surabaya Waterfront Land (SWL) yang berpotensi merampas hak masyarakat pesisir.

Kelima, menolak melupakan tragedi pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk tragedi Kanjuruhan, kasus lumpur Lapindo, peristiwa Madiun, dan lainnya.

Keenam, melakukan reformasi kebijakan hingga implementasinya di tingkat pusat maupun daerah, khususnya yang berpihak pada kelompok rentan, termasuk dalam pelayanan publik.

Baca Juga  LBH Jakarta Soroti Pembredelan Pameran Lukisan Yos Suprapto

Ketujuh, membebaskan seluruh rekan yang dikriminalisasi.

Kedelapan, mencabut pasal-pasal bermasalah dalam UU KUHAP yang dapat mengkriminalisasi warga. ABS mendesak untuk membatalkan ketentuan penangkapan tanpa izin pengadilan, melarang praktik perjebakan, memperkuat mekanisme pengawasan dan pengaduan, membatasi upaya paksa, serta melindungi saksi dan korban.

Refleksi Aktivis 1998

Pemantik diskusi, Andreas Pardede, aktivis 1998, memberikan refleksi terkait perjalanan panjang isu HAM di Indonesia. Ia menegaskan bahwa hingga hari ini banyak kasus pelanggaran HAM berat yang belum mendapatkan keadilan.

Kasus-kasus itu seperti tragedi 1965, kasus penghilangan paksa, peristiwa Mei 1998, hingga kekerasan negara terhadap warga sipil di berbagai wilayah. Semua ini harus tetap disuarakan, demi masa depan demokrasi di Indonesia.

“Selama negara tidak membuka ruang akuntabilitas, selama kritik masih direspons dengan ancaman, maka potensi pelanggaran HAM selalu ada. Ini bukan soal nostalgia masa lalu, ini soal bagaimana kita menjaga masa depan,” ujar Andreas.

Andreas juga memuji konsistensi gerakan mahasiswa Surabaya yang tetap mengawal isu-isu kemanusiaan di tengah dinamika politik nasional yang semakin kompleks. Ia berharap agar Surabaya tetap menjadi salah satu pusat suara kritis mahasiswa Indonesia. Suara-suara itu harus terus nyaring, terorganisir, dan berpihak pada kemanusiaan.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *