Angga Budi Kusuma; Tuhan, Kopi, dan Sebuah Brosur

Angga Budi Kusuma; Tuhan, Kopi, dan Sebuah Brosur

MAKLUMAT — Angga Budi Kusuma tidak pernah membayangkan, sore yang biasa itu akan menjadi babak baru dalam hidupnya. Ia sedang menyiram tanaman di halaman kantor Pesona Kahuripan, tempatnya bekerja sebagai office boy. Seorang tamu datang, bertanya tentang rumah.

Angga tak tahu banyak soal properti, tapi di meja resepsionis ia melihat sebuah brosur. Dengan polos ia bacakan isi brosur itu, sekadar ingin membantu. Tamu itu tertarik, menanyakan lokasi proyek. Dengan jujur, Angga menjawab ia pun belum tahu. Tapi Tuhan seperti sedang menuntun lidahnya. Ia menunjuk hamparan sawah di kejauhan. “Mungkin di sana, Pak.”

Beberapa hari kemudian, ia dipanggil oleh tamu itu. Rupanya sang tamu pengusaha besar yang sedang mencari rumah untuk karyawannya. Dari kejujuran yang sederhana itu, lahirlah sebuah proyek besar. Dari tangan seorang office boy.

“Bukan saya yang ngegolin,” ujar Angga merendah. “Tapi Tuhan yang ngasih hadiah.”

Kini, pria berwajah tenang itu menjadi Direktur Utama Pesona Kahuripan Group, perusahaan properti yang omzetnya mencapai Rp120 miliar. Ia membangun ribuan rumah bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Tapi, di balik kesuksesan yang mencengangkan itu, ada perjalanan panjang seorang anak manusia yang pernah tidur di masjid, di gereja, di warung, karena tak punya rumah.

______

Angga lahir dari keluarga yang retak. Orang tuanya berpisah saat ia masih sekolah. Hidupnya berpindah-pindah, bergantung pada kebaikan teman. Kadang ia ikut tidur di rumah mereka, kadang di tempat ibadah, kadang di emperan warung. “Saya bahkan lupa gimana rasanya makan teratur,” kenangnya.

Baca Juga  Muhammadiyah Kaya Guru Bangsa, tapi Kekurangan Manusia Politik

Kemiskinan membuatnya sering marah pada Tuhan. “Katanya Engkau adil, tapi kenapa saya seperti ini?” begitu ia pernah berteriak dalam doa. Depresi menjeratnya. Ia sempat ingin pergi jauh, ke Palestina, menjadi relawan, atau sekadar menghilang. Tapi jalan Tuhan ternyata bukan pelarian — melainkan pertemuan.

Pertemuan itu bernama Wawan Rianto, pemilik Pesona Kahuripan.

Angga diterima di perusahaan itu bukan sebagai karyawan penting. Ia hanya ingin punya kesibukan agar tak semakin larut dalam depresi. Ia bersih-bersih kantor, mencuci motor karyawan, menyiapkan kopi, mengepel lantai. Tapi Wawan melihat sesuatu dalam dirinya.

“Punya masalah apa?” tanya Wawan suatu sore.
Tanpa malu, Angga bercerita semuanya.
Wawan hanya menjawab pelan: “Masalah pun kepunyaan Tuhan. Serahkan kepada-Nya.”

Angga bingung. Tapi Wawan melanjutkan, “Kalau kamu ingin dekat dengan Tuhan, buatlah orang lain senang. Karena menyenangkan orang lain itu ibadah yang tidak kembali pada dirimu.”

Sejak itu Angga menjadikan kalimat itu pegangan hidup. Ia mulai menemukan makna dalam hal-hal kecil. Membersihkan meja dengan sungguh-sungguh. Membuat kamar mandi wangi. Menyajikan kopi dengan senyum. Ia menemukan kebahagiaan dalam pelayanan.

Dan dari sana, hidupnya mulai berubah.

___________

Perlahan tapi pasti, Angga menarik perhatian Wawan. Ia bukan karyawan biasa. Ia datang paling pagi, pulang paling akhir. Ia tak pernah menolak pekerjaan apa pun. Wawan pun mulai mengajarinya dasar-dasar bisnis properti, mengajaknya berbincang tentang kejujuran dan kesadaran spiritual. Hingga akhirnya, pada 2018, Angga diangkat menjadi direktur di salah satu perusahaan.

Baca Juga  Faris Abidin, Caleg Milenial yang Bakal Melenggang ke Yos Sudarso

Tiga tahun kemudian, sesuatu yang tak terbayangkan terjadi.
Wawan memutuskan keluar dari jajaran pengurus.
“Untuk menyempurnakan ibadah saya,” kata Wawan. “Agar saya tidak mengakui perusahaan ini punya saya. Semuanya milik Allah.”

Sejak itu, kepemimpinan perusahaan berpindah ke tangan Angga. Ia menjadi direktur utama — dari posisi terendah di kantor yang sama.

“Saya malu kalau sampai mengaku perusahaan ini punya saya,” katanya lirih. “Sebab guru saya sendiri tidak mengakuinya. Saya hanya sedang diperankan Tuhan untuk menjalankan rencana-Nya.”

__________

Kini, ketika semua orang membicarakan kemewahan, Angga justru memilih kesederhanaan. Ia masih tinggal di rumah pertama yang dibelinya melalui program FLPP — rumah tipe 36 yang kini luasnya 116 meter persegi karena sedikit diperluas. Cicilannya masih Rp1.070.000 per bulan.

Prita Laura sempat menggoda dalam wawancaranya di Podcast Youtube @Penjaga Harapan, “Mas Angga enggak pengin ganti Alphard kayak pengusaha-pengusaha besar itu?”
Angga tertawa kecil. “Malu saya,” jawabnya.
“Kenapa?”
“Takut dikira supir.”

Sebuah jawaban sederhana yang mencerminkan jalan hidupnya: dari bawah, penuh luka, tapi tak kehilangan arah.

_______

Ketika Presiden Prabowo Subianto menyampaikan kata-kata yang viral itu — “Saya jenderal, tapi saya hormat sama kamu” — ia sedang bicara tentang Angga. Tentang seorang mantan office boy yang kini membuktikan bahwa kesuksesan tak harus dicuri dari korupsi, tapi bisa tumbuh dari kejujuran dan iman.

Baca Juga  Menemukan Makna Guru di Tanah Orang

Angga menatap masa depan dengan cara yang berbeda. Ia tak ingin berhenti di angka omzet. Ia ingin terus membangun rumah, tapi lebih dari itu — membangun harapan.

“Saya akan terus berinovasi, meningkatkan mutu, pelayanan. Karena itu cara saya bersyukur,” ujarnya.

Hidupnya kini bukan lagi soal karier, tapi tentang kesadaran. Bahwa setiap langkah manusia hanyalah bagian dari skenario besar Sang Pencipta.

Dan bagi Angga Budi Kusuma, jalan Tuhan itu kadang dimulai dari sesuatu yang sepele — sekadar brosur yang dibacakan dengan jujur, oleh seorang office boy yang hanya ingin membuat orang lain senang.***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *