MAKLUMAT — Perkembangan fashion muslim di era digital semakin pesat. Tren busana muslim kini hadir di panggung internasional, butik lokal, hingga lini ready-to-wear yang dijual online. Namun di tengah euforia itu, muncul pertanyaan penting: apakah tren yang berkembang masih selaras dengan nilai-nilai keislaman?
Dari Simbol Iman Menjadi Gaya Hidup
Awalnya, busana muslim muncul sebagai wujud ketaatan terhadap ajaran Islam: menutup aurat dan menjaga kesopanan. Kini, fashion muslim telah berubah menjadi bagian dari gaya hidup modern. Banyak desainer dan brand modest fashion melahirkan tren baru, mulai dari streetwear muslim, hijab turban, hingga jaket oversized.
Tren ini menunjukkan bahwa busana muslim bisa tampil dinamis dan kreatif tanpa kehilangan identitas. Tapi pada saat yang sama, muncul kekhawatiran bahwa nilai spiritual bisa tergeser oleh hasrat tampil stylish.
Modesty atau Sekadar Label?
Tak sedikit yang mulai mempertanyakan: apakah fashion muslim masa kini benar-benar mencerminkan modesty? Banyak busana yang memang menutup tubuh, tetapi memakai bahan transparan, potongan ketat, atau aksen mencolok.
Melansir dari laman Fashion Muslim Luna, tren semacam ini memang menarik secara visual, namun belum tentu sejalan dengan nilai-nilai kesederhanaan dalam Islam. Secara teknis aurat tertutup, tapi secara makna, ada yang hilang—yaitu ruh kesopanan dan kesadaran spiritual.
Media Sosial dan Standar Gaya Baru
Instagram, TikTok, dan platform lainnya menjadi etalase utama fashion muslim. Influencer berhijab dengan jutaan pengikut menciptakan standar gaya tersendiri. Mereka memang memberi inspirasi, namun juga bisa menimbulkan tekanan sosial.
Banyak perempuan merasa perlu tampil modis setiap saat, walau tak selalu sesuai dengan kemampuan finansial atau prinsip hidupnya. Ada kegelisahan bahwa hijab kini lebih dilihat sebagai elemen fashion dibanding simbol ibadah.
Solusinya: Sadar, Bukan Sekadar Gaya
Menolak tren bukan jawabannya. Yang dibutuhkan adalah kesadaran saat memilih dan mengenakan busana. Brand dan influencer harus menyadari bahwa mereka memikul tanggung jawab lebih dari sekadar menjual produk. Mereka membentuk persepsi publik soal apa itu “berhijab” dan seperti apa busana yang layak disebut “modest”.
Desainer yang baik akan merancang busana yang indah secara estetika, sekaligus memenuhi nilai etika. Konsumen pun sebaiknya mempertimbangkan, apakah busana yang mereka kenakan hanya untuk tampil keren, atau juga mencerminkan nilai yang mereka yakini.
Ruang Ekspresi
Jadi fashion muslim akan terus berkembang dan membuka ruang ekspresi. Namun di tengah arus tren dan tekanan media sosial, umat muslim perlu menjaga agar esensi hijab tak hilang. Jangan sampai hijab hanya menjadi aksesori visual—tanpa makna spiritual.
Sebab pada akhirnya, berpakaian adalah cerminan hati. Dan fashion muslim, jika dipahami dengan benar, adalah bagian dari perjalanan menuju ketakwaan.***