Australia Terapkan Right to Disconnect, Apa Itu dan Bisakah Dilakukan di Indonesia?

Australia Terapkan Right to Disconnect, Apa Itu dan Bisakah Dilakukan di Indonesia?

MAKLUMAT — Pemerintah Australia baru-baru ini telah menerapkan kebijakan right to disconnect, yang memberikan hak bagi pekerja untuk mengabaikan alias menolak memantau, membaca, atau merespons komunikasi terkait pekerjaan di luar jam kerja. Pertanyaannya, apakah kebijakan ketenagakerjaan tersebut bisa diterapkan di Indonesia?

Pakar Sumber Daya Manusia (SDM) dan Pemberdayaan Masyarakat dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Isna Fitria Agustina SSos MSi, menilai kebijakan tersebut sangat relevan, bahkan penting untuk diadopsi di Indonesia.

Pakar SDM dan Pemberdayaan Masyarakat dari Umsida, Isna Fitria Agustina SSos MSi. (Foto: Dok. Umsida)
Pakar SDM dan Pemberdayaan Masyarakat dari Umsida, Isna Fitria Agustina SSos MSi. (Foto: Dok. Umsida)

“Ini menjadi langkah maju yang signifikan dalam melindungi kesejahteraan pekerja di era digital dan memastikan bahwa teknologi digunakan untuk memfasilitasi pekerjaan, bukan untuk mengganggu kehidupan pribadi,” terang Isna, sapaan akrabnya.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa penerapan Right to Disconnect tidak akan mudah. Sebab, kata dia, implementasinya harus disesuaikan dengan konteks sosial, budaya, dan hukum di Indonesia.

Tantangan yang Dihadapi

Menurut Isna, tantangan utama datang dari budaya kerja yang hierarkis. “Karyawan cenderung merasa tidak nyaman atau bahkan takut untuk menolak permintaan dari atasan, bahkan jika permintaan tersebut datang di luar jam kerja,” ujarnya.

Ia menyebut ada anggapan tidak tertulis bahwa ketersediaan 24/7 adalah bentuk profesionalisme dan loyalitas. Apalagi penggunaan aplikasi seperti WhatsApp untuk urusan kantor membuat batas kehidupan pribadi dan pekerjaan semakin kabur.

Baca Juga  Tok! Komisi II DPR Setujui Efisiensi Anggaran Kementerian/Lembaga Mitra, Berikut Rinciannya

Selain itu, meski UU Ketenagakerjaan sudah mengatur jam kerja dan hak lembur, belum ada pasal yang secara spesifik mengatur hak pekerja untuk tidak diganggu di luar jam kerja.

“Meskipun ada aturan, penegakan hukum di bidang ketenagakerjaan seringkali menjadi tantangan,” kata Isna.

Menurutnya, jika kebijakan ini diterapkan, definisi unreasonable contact atau komunikasi yang tidak wajar di luar jam kerja harus jelas agar tidak menimbulkan multitafsir.

Tak hanya itu, Isna juga menyoroti bahwa beberapa industri seperti media, layanan darurat, IT, hingga sektor global, yang memang menuntut ketersediaan pekerja di luar jam kerja. Di sisi lain, besarnya populasi pekerja informal dan gig economy seperti ojek online atau freelancer juga menjadi kendala sekaligus tantangan dalam penerapan kebijakan tersebut.

“Secara umum, saya rasa belum semua perusahaan di Indonesia siap sepenuhnya. Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan seperti mindset pimpinan, sektor dan globalisasi, serta infrastruktur komunikasi,” terangnya.

Kendati demikian, Isna menilai bahwa sebagian perusahaan, khususnya di bidang teknologi, sudah mulai menerapkan batasan komunikasi kerja demi menjaga produktivitas dan kesejahteraan para karyawannya.

Langkah yang Bisa Ditempuh

Lebih lanjut, dosen Prodi Administrasi Publik Umsida itu menekankan bahwa kebijakan right to disconnect tidak dimaksudkan untuk melarang semua komunikasi di luar jam kerja, melainkan untuk memberikan perlindungan hukum agar karyawan berhak menolak komunikasi yang tidak beralasan.

Baca Juga  Aturan Baru FWA ASN 2025: Tambahan Hari Kerja Fleksibel pada 8 April Usai Lebaran

Jika ingin mengimplementasikan kebijakan tersebut, Isna mengusulkan pemberlakuannya dilakukan secara bertahap, mulai dari kampanye kesadaran publik tentang pentingnya kesehatan mental dan work-life balance, penerapan awal di sektor yang lebih progresif seperti startup teknologi, hingga memberikan contoh dari instansi pemerintah.

“Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan ini akan sangat bergantung pada kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, efisien, dan menghargai waktu pribadi setiap individu,” pungkasnya.

*) Penulis: Romadhona S / Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *