Badai PHK 2025, Pakar Ekonomi UMS: Menanti Tindakan Nyata

Badai PHK 2025, Pakar Ekonomi UMS: Menanti Tindakan Nyata

MAKLUMAT — Baru lima bulan berjalan, tahun 2025 sudah diwarnai rentetan kabar duka dari berbagai sektor industri di Indonesia. Badai PHK terus bergulir, menimpa ribuan pekerja dari tekstil, perhotelan, rumah sakit, hingga industri media. Ironisnya, sejumlah perusahaan besar pun tak luput dari badai ini.

Kementerian Ketenagakerjaan RI mencatat, sejak 1 Januari hingga 23 April 2025, sedikitnya 24.000 pekerja telah dirumahkan. Angka ini melampaui sepertiga total PHK sepanjang tahun 2024. “Saat ini terdata sekitar 24 ribuan, jadi sudah sepertiga lebih dari tahun 2024,” ujar Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, seperti dikutip dari Metrotvnews, Jumat (9/5/2025).

Gelombang ini tercermin dari lonjakan drastis: pada Februari 2025, jumlah PHK tercatat 15.000 orang. Dua bulan kemudian, angka itu meningkat sekitar 10.000 orang.

Kondisi paling mencolok tampak dari pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), raksasa tekstil asal Sukoharjo, yang merumahkan lebih dari 11.000 buruh. Nasib ribuan keluarga yang sebelumnya menggantungkan hidup pada perusahaan ini kini terombang-ambing tanpa kepastian.

Jawa Tengah menjadi daerah dengan angka PHK tertinggi, mencatat 10.692 pekerja terdampak. Disusul DKI Jakarta dengan 4.649 orang dan Riau sebanyak 3.546 orang. Sementara di Kota Solo, sepanjang Januari–April 2025, sekitar 460 pekerja kehilangan pekerjaan, menurut laporan Solopos edisi 5 Mei.

PHK massal juga menggulung industri media. Hingga Mei 2025, Kompas TV, CNN Indonesia, dan MNC Group disebut telah merumahkan sekitar 750-an pekerja. Sejumlah kantor media bahkan dikabarkan bersiap menutup operasional.

Baca Lainnya  50.000 Buruh Terancam PHK Akibat Tarif Trump, Ini Usulan KSPI yang Diapresiasi Prabowo

Lemahnya Daya Saing

Pakar ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr. Agung Riyardi, menilai dalam kerangka mikroekonomi, persoalan mendasarnya terletak pada logika akuntansi ekonomi yang diterapkan pelaku usaha.

“Ketika pendapatan perusahaan turun, misalnya dari Rp400 juta menjadi Rp300 juta, biaya tenaga kerja yang semula Rp120 juta bisa ditekan menjadi Rp60 juta demi menjaga margin laba Rp30 juta. Tapi konsekuensinya, PHK tak terhindarkan,” ujar Agung dilansir  laman UMS, Sabtu (10/5/2025).

Ia menambahkan, logika ini bisa diubah bila pemilik usaha bersedia memangkas keuntungan pribadi atau gaji manajemen puncak. Namun, tanpa dorongan dari pemerintah dan penguatan serikat pekerja, opsi itu kerap dihindari.

Menurutnya, tekanan internal seperti kerugian usaha, biaya logistik yang tinggi, tarif energi yang membengkak, hingga relokasi perusahaan turut memperparah situasi. Di sisi lain, dari aspek eksternal, persaingan antarkawasan untuk menarik investor juga menjadi faktor signifikan. “Jawa Tengah, misalnya, bersaing dengan Jawa Barat dan Jawa Timur. Ketika suatu kawasan gagal menyediakan ekosistem yang efisien, investor bisa pindah,” katanya.

Menanti Tindakan Nyata

Agung menyebutkan, ketidaksiapan Indonesia dalam membangun iklim bisnis yang solid menyebabkan perusahaan kesulitan bertahan. Negara pun dinilai belum hadir secara efektif untuk menjamin perlindungan pekerja yang ter-PHK.

Ia menyarankan lima langkah strategis. Pertama, memperbaiki sistem ketenagakerjaan dan infrastruktur untuk menarik dan mempertahankan investasi. Kedua, mendorong lahirnya serikat pekerja yang kuat dan konstruktif. Ketiga, memperbaiki pengelolaan barang publik agar tidak membebani sektor produktif. Keempat, menyediakan jaminan kesejahteraan jangka panjang yang tidak bergantung pada bantuan sosial temporer. Dan kelima, mendorong perubahan logika pebisnis dari sekadar orientasi laba menuju keberpihakan pada nilai-nilai kemanusiaan.

Baca Lainnya  Tokoh Muhammadiyah Terlalu Sungkan Berkompetisi

“Kalau tidak ada perubahan cara pandang, kita akan menyaksikan degradasi nilai, dari ideologi sosial hingga budaya,” tegas Agung.

Gelombang PHK yang masif ini mengingatkan bahwa daya tahan ekonomi nasional tidak hanya soal neraca perdagangan atau investasi asing, tetapi tentang keberlangsungan hidup para pekerja yang menopang sistem itu sendiri. Di tengah angka yang terus bertambah, harapan kini bergantung pada sinergi negara, pengusaha, dan masyarakat sipil untuk mengubah arah angin sebelum badai ini berubah menjadi krisis sosial.

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *