MAKLUMAT — Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Senin (13/10/2025).
Agenda dalam sidang kali ini adalah untuk mendengarkan keterangan DPR dan Presiden terhadap empat perkara sekaligus, yakni dalam Perkara Nomor 38, 43, 44, dan 80/PUU-XXIII/2025.
Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edhi Omar Sharif Hiariej mewakili Presiden dalam sidang tersebut, menegaskan bahwa pemerintah telah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) BUMN Perubahan Keempat, di mana seluruh pasal yang diuji oleh para pemohon telah mengalami perubahan.
Ia menandaskan bahwa materi-materi perubahan dalam RUU BUMN tersebut pada dasarnya diarahkan untuk memperkuat tata kelola dan efektivitas peran BUMN.
“Rangkaian materi perubahan dalam RUU BUMN ini pada intinya diarahkan untuk memperkuat tata kelola dan efektivitas peran BUMN. Pemerintah menyampaikan bahwa semua pasal yang dimohonkan oleh para Pemohon mengalami perubahan dalam UU Perubahan Keempat UU 19/2003,” ujar Edhi, dilansir laman resmi MK.
Transformasi ke BP BUMN dan Rangkap Jabatan
Edhi juga menegaskan, RUU BUMN tersebut telah disetujui oleh DPR RI dalam rapat paripurna pada 2 Oktober 2025 lalu. Dalam pandangan akhir Presiden yang disampaikan oleh Menteri PANRB, pemerintah menyoroti sejumlah poin perubahan penting yang diatur dalam revisi UU tersebut.
Salah satu perubahan signifikan adalah transformasi kelembagaan Kementerian BUMN menjadi Badan Pengaturan (BP) BUMN. Selain itu, ketentuan rangkap jabatan menteri dan wakil menteri sebagai organ BUMN hanya berlaku maksimal dua tahun sejak putusan MK terkait isu tersebut diucapkan.
RUU tersebut, kata dia, juga menegaskan prinsip kesetaraan gender dalam pengisian jabatan direksi, komisaris, hingga posisi manajerial lain di BUMN. Di sisi lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga tetap memiliki kewenangan untuk memeriksa BUMN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah juga memperkuat posisi Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) sebagai penjamin holding investasi dengan persetujuan dewan pengawas, serta mengatur perpajakan atas transaksi antara entitas di bawah BUMN melalui Peraturan Pemerintah.
Sementara itu, Ketua MK Suhartoyo menyoroti fakta bahwa UU BUMN baru saja berubah, sehingga berdampak langsung pada keberlanjutan permohonan uji materi yang sedang berjalan.
“Norma undang-undang yang dimohonkan pengujian untuk semua perkara ini katanya sudah mengalami perubahan, jadi Saudara-Saudara kan sudah bisa memahami konsekuensi yuridisnya seperti apa kalau perkara ini diteruskan,” ujarnya.
Suhartoyo menegaskan bahwa MK masih akan mempelajari lebih lanjut terkait UU BUMN yang baru, serta meminta pemerintah dan DPR menyerahkan bukti perubahan norma pasal-pasal yang diuji.
“Tolong kami juga kan baru hari ini pagi ini mendapatkan informasi tentang nomor undang-undang itu dan penegasan soal semua norma yang dilakukan pengujian konon katanya sudah dilakukan perubahan atau sudah berubah,” tutur Suhartoyo.
Empat Perkara Uji Materi UU BUMN
Sekadar diketahui, terdapat empat perkara terkait UU BUMN yang diuji di MK, dan memiliki latar belakang serta pihak pemohon yang berbeda.
Perkara Nomor 38/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh seorang dosen, Rega Felix, yang mempersoalkan pemisahan antara kerugian BPI Danantara dan kerugian BUMN sebagai kerugian negara.
“Bagaimana mungkin suatu badan yang menerima delegasi kewenangan secara langsung dari presiden pejabatnya tidak dikatakan sebagai penyelenggara negara…,” ujar Rega Felix dalam sidang pendahuluan pada 28 April 2025 lalu.
Kemudian, Perkara Nomor 43/PUU-XXIII/2025 diajukan tiga mahasiswa, yakni A Fahrur Rozi, Dzakwan Fadhil Putra Kusuma, serta Muhammad Jundi Fathi Rizky, yang menilai norma tentang status keuangan dan pegawai BPI Danantara berpotensi membuka celah korupsi.
“Akibatnya keberlakuan a quo pada gilirannya hal ini menurut para Pemohon justru dapat menyuburkan praktik korupsi di lingkungan BUMN,” kata Muhammad Jundi Fathi Rizky dalam sidang pendahuluan, 5 Mei 2025 lalu.
Sementara itu, Perkara Nomor 44/PUU-XXIII/2025 dimohonkan oleh dua wiraswasta, Heri Hasan Basri dan Solihin, yang mengaku kehilangan hak konstitusional untuk melaporkan dugaan tindak pidana korupsi di BUMN akibat pasal-pasal yang diuji.
Sedangkan dalam Perkara Nomor 80/PUU-XXIII/2025, diajukan oleh Indonesia Human Right Committee for Social Justice (IHCS) bersama tiga warga negara lainnya, yang menilai sejumlah pasal dalam UU BUMN justru melemahkan prinsip akuntabilitas keuangan negara.
Suhartoyo mengaku, sidang selanjutnya masih belum bisa dijadwalkan, sebab harus menunggu MK menelaah lebih dalam terkait perubahan norma dalam UU BUMN terbaru yang telah disahkan oleh DPR.