Bahaya Kapitalisme Religius sebagai Etos Muhammadiyah

Bahaya Kapitalisme Religius sebagai Etos Muhammadiyah

MAKLUMAT — Tulisan ini adalah kritik terhadap artikel yang dimuat di ibtimes.id berjudul “Ideologi Kesejahteraan Muhammadiyah,” terutama mengenai kontradiksi antara semangat religius dan kapitalisme yang diusung sebagai etos Muhammadiyah.

Penulis dalam artikel tersebut, secara jujur mengakui adanya dua tarikan teologis dalam tubuh Muhammadiyah. Pertama, teologi Al-Ma’un yang sosialis, nahi mungkar, anti kemapanan, dan mengkritik elit kaya (oligarki). Kedua, teologi Al-‘Ashr yang cenderung kapitalis religius, amar makruf, dan berambisi menjadi “Naga Kesepuluh.”

Ketika penulis menyimpulkan bahwa Al-Ma’un (orientasi sosial) dan Al-‘Ashr (meotodologi kapitalis) adalah keniscayaan yang saling melengkapi, di sinilah letak kontradiksinya yang fatal. Apalagi, baru-baru ini tulisan tersebut juga dimuat di akun media sosial resmi Muhammadiyah, seakan-akan mendeklarasikan etos baru Muhammadiyah.

Kontradiksi Kapitalisme dan Religius

Agiel Laksamana Putra.
Agiel Laksamana Putra.

Dari sejak awal kemunculannya pada abad pertengahan di Eropa, jati diri kapitalisme ini didasarkan pada akumulasi modal tanpa batas, pasar bebas, persaingan, eksploitasi tenaga kerja (surplus value dalam definisi Marx), dan privatisasi sumber daya. Kapitalisme membawa dampak kemiskinan struktural dan kesenjangan kelas yang melebar.

Berbeda dengan religius, terutama dalam Islam tentang tauhid (keesaan Tuhan). Konsekuensi dari percaya pada sifat tauhid adalah menyetarakan manusia, dengan berbuat adil demi mencapai puncak spiritualitas. Kapitalisme dan religius sangat berbeda, baik dalam tujuan maupun penerapannya.

Bagaimana mungkin etos yang secara struktural melanggengkan penindasan (kapitalisme) dapat dijadikan metodologi untuk mencapai cita-cita agama yang paling hakiki, yaitu keadilan sosial?

Kapitalisme Religius Melegitimasi Ketimpangan

Artikel tersebut mengklaim bahwa teologi kesejahteraan Muhammadiyah dengan membawa etos kapitalisme religius bisa mendorong kemakmuran dan kesejahteraan bagi umat.

Baca Juga  Anggota DPR Harap Muhammadiyah Jadi Penawar Demokrasi Berbayar

Namun, ketika kemakmuran dan kesejahteraan dipahami melalui mekanisme kapitalisme, ada potensi bahwa agama bisa dipakai legitimasinya agar tindakan ekonomi berupa akumulasi modal, pasar bebas, dan persaingan dibenarkan secara religius.

Jika organisasi sebesar Muhammadiyah menjadi sangat kaya dan menggunakan pendekatan pasar, bisa timbul risiko eksploitasi, ketimpangan ekonomi dan sosial yang tinggi. Sebab praktik kapitalisme mengonsentrasikan kekayaan dan sumberdaya itu terpusat dan menghilangkan nilai persaudaraan, keadilan, serta semangat gotong-royong.

Kekeliruan Logika Penulis dalam Memahami Al-‘Ashr

Logika Al-‘Ashr sebagaimana yang disebut penulis, diklaim mengajarkan “miskin agar jadi kaya” adalah narasi individualistik yang khas kapitalisme. Logika ini seakan-akan mengatakan bahwa kemiskinan adalah kegagalan individu karena kurangnya etos kerja atau kapasitas (meritokrasi).

Padahal, kebanyakan orang menjadi miskin karena tidak memperoleh kesempatan yang sama dengan orang lain untuk mendapatkan kekayaan. Ini justru mengabaikan fakta bahwa dalam sistem kapitalis, kekayaan segelintir orang selalu berdiri diatas kemiskinan mayoritas.

Miskin seharusnya dibebaskan dari kemiskinan oleh sistem yang adil, bukan miskin harus berjuang sendiri menjadi kaya. Inilah tugas utama amar ma’ruf, bukan sekadar memberikan peluang bagi individu naik kelas dalam sistem yang tetap menindas, tapi juga menciptakan sistem di mana tidak ada lagi kemiskinan.

Lebih lanjut, penulis menyebutkan bahwa dengan logika Al-‘Ashr, Muhammadiyah justru ingin menjadi “Naga Kesepuluh”. Logika ini, justru akan mereduksi semangat radikal Al-Maun menjadi sekedar gerakan amal atau sedekah (filantropi).

Padahal, perjuangan KH Ahmad Dahlan adalah perjuangan struktural untuk menghancurkan kemapanan dan ketidakpedulian elit. Dengan mendirikan Muhammadiyah, ia menciptakan sistem baru yang lebih adil dengan harapan semua orang dapat kesempatan yang sama untuk naik kelas.

Baca Juga  Pesantren di Tengah Benturan Peradaban: Paradoks Mahkota Surga dan Perbudakan Anak

Lagipula, kenapa Muhammadiyah harus berambisi menjadi “Naga Kesepuluh?” Ini mengkhianati kaum yang lemah. Muhammadiyah seharusnya berjuang untuk membubarkan sistem yang menciptakan “Sembilan Naga,” alih-alih bergabung di dalamnya.

Kekuatan ekonomi organisasi seharusnya diarahkan untuk membangun basis ekonomi alternatif yang sepenuhnya non-kapitalis (berbasis koperasi, ekonomi gotong royong, dan kepemilikan komunal), bukan sekadar menjadi entitas kaya raya yang baru.

Sosialisme dan Ekonomi Islam lebih Konsisten ke Religiusitas

Sebenarnya, sosialisme sebagaimana logika Al-Maun yang disebut penulis, sudah terlalu dekat dengan konsep religius, yaitu keadilan distribusi. Tapi mungkin, penulis lebih enggan hanya memakai sosialisme sebagai etos karena berlandaskan filosofis marxisme yang materialistik dan ateistik.

Oleh karena itu, penulis mendeklarasikan kapitalisme dengan bubuhan religius sebagai etos tambahan Muhammadiyah. Padahal, sesuai apa yang saya jabarkan di atas, etos ini sangat problematik. Meskipun, saya juga sependapat jika tidak semua sosialisme cocok diterapkan Muhammadiyah, terutama di tengah masyarakat agamis di Indonesia.

Maka dari itu, ekonomi Islam menawarkan paradigma yang berbeda dengan sosialisme dan kapitalisme (sekali pun religius). Ekonomi Islam ala Baqir al-Sadr misalnya, dalam bukunya yang berjudul Iqtishaduna (ekonomi kami).

Al-Sadr menawarkan jalan ketiga yang murni Islam, fokus utamanya pada keadilan distribusi dan keseimbangan sosial. Doktrin ekonomi Islam bersumber pada Al-Quran dan hadis yang bertujuan untuk membangun sistem ekonomi yang adil dan sesuai syariah. Al-Sadr secara keras menentang riba (bunga) dalam pilar utama kapitalisme. Sebagai gantinya, ia menawarkan sistem bagi hasil (mudharabah). Ia juga mengkritik teori kepemilikan bersama penuh ala Sosialisme.

Baca Juga  Muhammadiyah dan Politik Tak Pernah Benar-Benar Terpisah

Menurutnya, kepemilikan pribadi diperbolehkan, asal dibatasi dan dikendalikan oleh hak-hak orang lain serta kepentingan masyarakat. Kepemilikan negara juga dibutuhkan, terutama terhadap sumber daya yang memerlukan manajemen sentral untuk kepentingan umum. Terakhir, kepemilikan bersama (publik) terhadap sumber daya alam vital seperti air yang tidak boleh diprivatisasi.

Al-Sadr menyimpulkan bahwa Islam menawarkan model ekonomi yang unik dan mampu menjawab tantangan modern tanpa mengorbankan prinsip-prinsip ketuhanan, keadilan , dan keseimbangan sosial.

Penulis menyebutkan dalam kalimat penutupnya bahwa “sosialis Al-Maun dan kapitalis Al-‘Ashr bukan pilihan, keduanya dapat menjadi etos Muhammadiyah yang saling melengkapi.” Jujur saya cenderung skeptis tentang ini.

Mencoba menggunakan etos kapitalis untuk mencapai tujuan sosialis sama saja dengan menggunakan racun untuk menyembuhkan penyakit. Keduanya memiliki orientasi yang berbeda, sekaligus bisa menyebabkan tegangan dalam implementasinya:

Kapan solidaritas dimajukan, kapan orientasi pasar diutamakan? Siapa yang memutuskan? Dan bagaimana memastikan bahwa orientasi pasar tidak menyebabkan pengabaian terhadap tanggung jawab sosial?

Kedua, dalam praktiknya kapitalisme Muhammadiyah sebenarnya sudah berjalan lama. Sebut saja misalnya pemberian upah yang tidak layak bagi para pekerja di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Dari informasi yang saya dapat, masih banyak tenaga kerja di AUM yang gajinya di bawah UMR. Apalagi, guru-guru di sekolah Muhammadiyah, masih ada yang belum sejahtera.

Maka kita masih punya PR besar dalam hal menyejahterakan ekonomi warga Muhammadiyah dan pekerja di AUM. Jangan sampai, kapitalisme religius ala Muhammadiyah justru melegitimasi eksploitasi pekerja, dan membenarkan ketimpangan di lingkungan Muhammadiyah sendiri.

*) Penulis: Agiel Laksamana Putra
Mahasiswa Pascasarjana Studi Agama dan Mistisisme di Iran dan Ketua Bidang Kader PCLN IMM Asia Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *