Banjir Bali, Isyarat Alam Mulai Bosan

Banjir Bali, Isyarat Alam Mulai Bosan

MAKLUMAT — Bali, yang selalu kita kenal dengan julukan Pulau Dewata, kini harus menghadapi wajah lain dari alam. Tidak lagi hanya panorama sawah berundak, pantai pasir putih, atau pura yang sakral, melainkan bencana yang menenggelamkan rumah, menelan korban jiwa, dan membuat jalan-jalan macet oleh genangan air. Banjir besar yang melanda beberapa kabupaten di Bali dalam sekejap mengubah pulau wisata dunia ini menjadi lautan air.

Penulis: Wahidin Hasan

Media nasional maupun internasional ramai menyorotnya. Reuters menulis banjir menelan korban jiwa, sementara Associated Press mencatat hingga 15 orang tewas bila digabung dengan wilayah Nusa Tenggara. BBC bahkan menyoroti bagaimana banjir ini menjadi peringatan bahwa pulau sekecil Bali sekalipun rentan menghadapi perubahan iklim global.

The Guardian menambahkan dimensi penting bahwa bencana ini tidak berdiri sendiri, melainkan hasil kombinasi antara curah hujan ekstrem, tata ruang yang rapuh, dan lingkungan yang terus dieksploitasi.

Hujan yang Memecahkan Rekor

Data dari BMKG membuat kita terhenyak. Di Jembrana, hujan tercatat 385,5 milimeter hanya dalam sehari—angka yang biasanya setara dengan satu bulan penuh di wilayah tropis. Denpasar tak kalah heboh dengan 188,4 milimeter dalam sehari. Para klimatolog menyebut penyebabnya adalah gelombang Rossby ekuatorial, fenomena atmosfer yang membawa massa udara lembap dari samudra dan menumpahkannya dalam bentuk hujan besar.

Secara ilmiah, kita bisa menerima bahwa alam memang punya siklus ekstrem. Tetapi mengapa dampaknya bisa sedemikian parah? Jawabannya tidak berhenti di atmosfer. Banjir Bali tidak bisa hanya disalahkan pada hujan. Kita perlu menengok ke darat, ke sawah yang berubah jadi hotel, sungai yang menyempit karena betonisasi, dan hutan yang ditebang untuk membuka villa.

Baca Juga  Solusi Hukum Sengketa SDA Tambang dan Migas di Aceh

Alam yang dulu ramah air kini kehilangan daya tampungnya. Sistem subak yang selama ratusan tahun menjadi warisan pengelolaan air khas Bali, tergeser oleh modernisasi yang seringkali abai pada ekologi.

Inilah yang para ahli sebut sebagai banjir buatan manusia. Air yang turun deras sebenarnya bisa diserap oleh hutan dan tanah subur. Tapi ketika ruang-ruang alami itu hilang, air tidak lagi punya rumah, kecuali meluap ke jalan dan rumah penduduk.

Perubahan Iklim, Atmosfer yang “Doping”

Laporan IPCC menegaskan Asia Tenggara akan mengalami peningkatan curah hujan ekstrem hingga 30% dalam bebe rapa dekade mendatang.Atmosfer yang makin panas akibat gas rumah kaca menahan lebih banyak uap air, dan saat dilepas, ia jatuh dalam bentuk hujan superlebat. Para ilmuwan menyebutnya “atmosphere on steroids.” Banjir di Bali adalah potret nyata dari tren ini. Musim hujan makin sulit diprediksi, badai makin sering, dan curah hujan makin ekstrem. Artinya, kita sedang memasuki era baru: iklim yang tidak lagi bisa ditebak dengan cara lama.

Dimensi Spiritual: Alam yang Rusak karena Ulah Manusia

Menariknya, Al-Qur’an sudah lama memberi peringatan tentang kerusakan alam. Allah berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 41: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Ayat ini seolah menegaskan apa yang kita saksikan di Bali. Kerusakan lingkungan—dari hutan gundul, alih fungsi lahan, sampai pencemaran—adalah hasil dari ulah manusia.

Baca Juga  Soliditas Muhammadiyah untuk Moralitas Politik Nasional

Banjir bukan semata murka alam, melainkan konsekuensi logis dari ekosistem yang kita rusak sendiri. Dalam surat Al-A’raf ayat 56, Allah juga berpesan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harapan…”

Dua ayat ini mengingatkan bahwa menjaga bumi bukan sekadar urusan teknis lingkungan, tetapi juga amanah spiritual. Mengabaikan alam berarti menyalahi tugas manusia sebagai khalifah di bumi.

Bali dan Kutukan

Keindahan Pulau ini adalah surga wisata dunia, tapi justru itu yang bisa menjadi “kutukan.” Mengutip Joseph Stiglitz tentang resource curse, Bali seolah terjebak pada kutukan pariwisata. Alam yang indah dijual habis-habisan untuk devisa, tetapi daya dukungnya diabaikan. Tanah yang subur hilang, sungai kehilangan jalurnya, dan hutan ditebang demi resort. Saat bencana datang, justru rakyat kecil yang menanggung beban terberat.

Bali harus berbenah.  Ada beberapa jalan keluar: Pertama, mitigasi struktural. Drainase, ruang terbuka hijau, dan daerah resapan air harus diperluas. Konsep sponge city seperti di Tiongkok bisa jadi inspirasi. Kedua, revitalisasi subak. Sistem warisan leluhur yang berbasis gotong royong dan keadilan air bisa mengembalikan keseimbangan ekologi Bali.

Ketiga, disiplin tata ruang. Villa, hotel, dan resort tidak boleh lagi mengabaikan daya dukung lingkungan. Pemerintah daerah perlu berani mengambil sikap tegas. Keempat, kesadaran spiritual dan kolektif. Banjir Bali adalah alarm. Ia mengingatkan kita bahwa bumi adalah titipan, bukan milik yang bebas dieksploitasi. Jika tidak kita rawat, kita sendiri yang akan menuai bencana.

Baca Juga  Pendidikan, Kunci Pembangunan Demokrasi

Refleksi: Bali sebagai Alarm Global

Bali yang tertutup air adalah pelajaran pahit. Ia menunjukkan bahwa krisis iklim bukan sekadar teori di ruang akademik, tetapi realitas yang mengetuk pintu rumah. Ia juga membuktikan bahwa kerusakan lingkungan bukan hanya urusan ekologis, tetapi menyangkut iman, amanah, dan tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan.

Jika kita membaca bencana ini dengan jernih, maka banjir Bali bukan sekadar berita duka, melainkan seruan agar kita kembali ke jalan yang benar: menjaga bumi, menata ruang dengan bijak, dan memperlakukan alam sebagai mitra, bukan korban. Bali adalah alarm. Dan alarm ini terlalu keras untuk kita abaikan.***

*) Penulis: Wahidin Hasan
Wartawan senior; Sekretaris LHKP PWM Jateng

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *