MAKLUMAT – Hilangnya resapan air dan drainase yang tertutup pemukiman warga menyebabkan frekuensi banjir di Malang Raya meningkat. Persoalan ini menjadi sorotan Amalia Nur Adibah, dosen Teknik Sipil Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Menurutnya, alih fungsi lahan menjadi kawasan terbangun menyebabkan air hujan tidak lagi terserap optimal dan langsung mengalir ke jalan. Kondisi ini membuat air hujan langsung mengalir ke jalan dan memicu kerusakan infrastruktur maupun fondasi bangunan.
“Banyak drainase sengaja ditutup untuk melebarkan rumah, sehingga air tidak punya akses masuk,” ujarnya.
Amalia menyebut lapisan aspal kerap terkelupas setelah banjir, yang menyebabkan jalan cepat berlubang. Untuk bangunan, air hujan yang mengandung zat korosif dapat merusak fondasi, instalasi listrik, hingga peralatan elektronik.
Banjir yang terjadi secara berulang-ulang dapat mengikis pondasi bangunan, terutama yang berada di bantaran sungai atau wilayah dengan debit air besar. “Semakin lama terempas air, fondasi bisa terkikis dan memicu kerusakan struktural hingga risiko roboh,” jelasnya.
Implementasi SDGs sebagai Solusi
Bukan berarti rumah yang bediri di kawasan rawan banjir tidak ada solusi. Amalia menyarankan pemilik rumah meninggikan bangunan dan menambah titik sumur resapan atau biopori. Mitigasi sederhana, seperti memasang papan penahan air di pintu ketika hujan deras, juga efektif mencegah air masuk ke rumah.
Dari sudut pandang planologi atau tata kota, pembangunan dan pembesaran saluran drainase sudah tepat. Namun ia menemukan beberapa proyek drainase yang posisinya lebih tinggi dari permukaan jalan menyulitkan air masuk.
“Ini memicu masalah baru karena aliran air tidak bisa langsung mengalir ke saluran,” ia menjelaskan.
Hal yang perlu menjadi perhatian adalah mitigasi risiko sebelum memilih lokasi hunian. Menyediakan 30 persen lahan terbuka sebagai resapan air merupakan opsi resapan air, sekaligus keseimbangan alam di tengah pembangunan.