MAKLUMAT – Wakil Presiden (Wapres) RI Gibran Rakabuming Raka tengah menjadi sorotan publik lantaran paket bantuan sosial (bansos) yang ia salurkan kepada warga Kebon Pala, Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur yang terdampak banjir.
Sorotan publik tertuju pada tas wadah bansos berisi paket sembako tersebut, yang tertulis secara spesifik ‘Bantuan Wapres Gibran’.
Banyak kalangan menilai aksi Gibran tersebut sebagai langkah untuk curi start dan membangun citranya untuk kontestasi politik Pilpres 2029 mendatang.
Politik Sinterklas
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam menilai, aksi Gibran tersebut sebagai bentuk politik Sinterklas.
“Ya itu politik Sinterklas,” ujarnya kepada Maklumat.ID, Senin (2/11/2024).
Istilah politik Sinterklas digunakan untuk menggambarkan praktik politik di mana seorang politisi, partai politik (parpol), ataupun pemerintah menggunakan pemberian hadiah, bantuan, ataupun janji-janji material guna menarik dukungan dan suara dari masyarakat.
Istilah itu berasal dari karakter Sinterklas yang dikenal karena memberikan hadiah kepada anak-anak. Dalam konteks politik, hal itu biasanya dilakukan menjelang Pemilu atau kampanye politik.
Menurut Surokim, politik Sinterklas itu hanya cocok pada sistem politik monarki, bukan pada suatu negara yang menganut sistem demokrasi. “Hanya cocok dikembangkan di sistem politik monarki,” kelakarnya.
Surokim meyakini, aksi Gibran membagi-bagikan bansos dalam tas bertulis ‘Bantuan Wapres Gibran’ itu tidak akan efektif untuk menuju 2029. Sebab, kata dia, Pemilu masih sangat lama. “Pemilu Pilpres masih jauh, jadi nggak akan efektif,” sebut Surokim.
Curi Start, Membangun Citra Gibran
Di sisi lain, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati melihat aksi putra sulung Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) itu memang sengaja mencuri start untuk menarik dukungan publik.
Menurutnya, hal itu karena Jokowi sudah tidak lagi menjabat sebagai Presiden RI, sehingga Gibran harus membangun citranya sendiri.
“Gibran nampaknya memang sedang curi start kampanye dan membangun investasi politik, karena ayahnya sudah tidak lagi memiliki kekuatan politik dan pengaruh yang bisa melakukan intervensi dan cawe-cawe untuk Pilpres berikutnya, sehingga dirinya ingin dikenal masyarakat sebagai pemimpin muda yang peduli dan merakyat,” ujar Neni kepada Maklumat.ID, Senin (2/12/2024).
“Komunikasi adalah simbol yang mengartikulasikan bagaimana Gibran memiliki kepentingan jangka panjang untuk memperluas jelajah komunikasi politik terutama di pemilih,” sambungnya.
Tidak Etis
Neni menilai aksi Gibran itu sebagai tindakan yang tidak etis dan tidak mencerminkan sosok pemimpin yang tulus dalam melayani rakyatnya.
Dia juga mengkritik penggunaan anggaran dan sumber daya negara digunakan oleh Gibran untuk membangun citranya sendiri.
“Tindakan ini dinilai tidak etis, bukan negarawan dan bukan pemimpin yang tulus melayani rakyatnya, melainkan ada tujuan lain yang menjadi agenda prioritas dengan memanfaatkan sumber daya negara,” tandasnya.
Efektif Jika Sistematis, Terstruktur, dan Massif
Lebih lanjut, berbeda dengan Surokim yang menyebut aksi Gibran tidak akan efektif, sebaliknya Neni menilai tindakan Gibran bakal efektif dan cukup berpengaruh dalam mempersuasi publik.
Terlebih, kata dia, jika aksi tersebut dilakukan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang, secara terstruktur, sistematis, dan massif.
“Ketika dilakukan dengan terstruktur, sistematis massif ya bisa cukup efektif untuk mempersuasi publik apalagi dalam jangka waktu yang cukup lama,” sebut Neni.
“Dalam teori manajemen kampanye itu bisa mengubah keputusan dan sikap politik karena dilakukan dalam waktu yang cukup panjang,” imbuhnya.