Barang Jarahan Pulang, Kapan Harta Rakyat Dikembalikan?

Barang Jarahan Pulang, Kapan Harta Rakyat Dikembalikan?

MAKLUMAT — Secuil kabar baik menyeruak dari tengah aksi penjarahan rumah anggota Dewan dan rumah Menteri. Kabar baik itu berbunyi: Ada yang mengembalikan barang yang dijarahnya kepada pemiliknya. Di antaranya sebuah tas cantik nan mahal berikut isinya: segepok uang. Konon masih utuh. Ada pula yang mengembalikan arloji. Mahal, tentu.

Menarik untuk bertanya: mengapa penjarah mengembalikan barang yang telah diambilnya, atas kesadaran sendiri maupun karena diminta orangtuanya?

Penulis: Zainal Arifin Emka

Masyarakat Indonesia, pada dasarnya memiliki nilai-nilai kekeluargaan, gotong royong, dan rasa malu (sense of shame) yang sangat kuat. Setelah individu keluar dari situasi “pesta” kerumunan, ia kembali ke komunitas tempat nilai-nilai baiknya.

Dalam situasi ini, orangtua sebagai penjaga norma bahwa “mencuri itu salah”, akan melahirkan perintah untuk mengembalikan barang jarahan. Ini merupakan manifestasi dari penegakan norma yang telah diyakini. Ketakutan akan aib juga menjadi pendorong kuat untuk mengalahkan nafsu memiliki barang jarahan.

Ada juga pertimbangan pragmatis. Seperti lazim terjadi di masrarakat kita. Orang mengembalikan barang temuan yang jatuh atau tertinggal: tas berisi ponsel, uang, dan dokumen pribadi seperti KTP dan SIM, plus foto pacar.

Si penemu dengan lagak orang baik-baik, mengembalikan kepada pemiliknya. Namun, ponsel dan uangnya raib dengan berbagai dalih. Jangan ditanya terlalu njlimet mengapa ponsel dan uangnya raib. Dimaklumi saja. Penemu berpikir pragmatis: KTP dan SIM memang tak bernilai guna bagi penemu.

Tentu saja memang ada pendorong rasa bersalah. Ini berlaku buat penganut agama yang dengan tegas melarang pencurian dan menganjurkan untuk mengembalikan hak orang lain. Pendorongnya, penyesalan dan rasa bersalah (guilty conscience) yang didorong oleh keyakinan agamanya.

Baca Juga  Bantuan Pendidikan: Dari Muhammadiyah untuk Palestina

Anak Jujur

Menariknya, mengembalikan barang jarahan merupakan bentuk pertobatan dan upaya membersihkan diri dari dosa. Dorongan dari orangtua juga sering kali dilandasi oleh nilai-nilai agama untuk membesarkan anak yang jujur dan bertanggung jawab.

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun norma hukum negara sempat runtuh dalam situasi chaos, norma sosial, agama, dan budaya lokal yang telah mengakar justru bangkit dan bekerja untuk memulihkan keteraturan.

Tindakan mengembalikan barang bukanlah pembenaran atas aksi penjarahan itu sendiri. Itu tetaplah sebuah kejahatan. Betapapun itu tetap merupakan sinyal bahwa fondasi moral masyarakat masih ada dan aktif bekerja setelah gejolak mereda.

Peran orangtua dan keluarga dalam fenomena ini sangat sentral. Mereka bertindak sebagai agen kontrol sosial pertama dan terdekat yang langsung menegur dan memperbaiki kesalahan anggota keluarganya.

Nggendhong Lali

Tindakan mengembalikan barang jarahan kepada pemiliknya itu mengirimkan pesan moral yang indah kepada kita: alangkah indahnya kesadaran akan hak dan kewajiban.

Saya sebut pesan indah lantaran pelakunya orang-orang kebanyakan yang tak berpunya, tak bergelimang harta. Orang yang sudah merasa cukup kaya bisa mengantongi Rp3 juta sebulan. Orang yang merasa wah punya rumah senilai Rp750 juta.

Bagi yang alergi ajaran agama, tengoklah peribahasa Jawa “melik nggendhong lali”. Menggambarkan seseorang yang memiliki keinginan berlebihan atau serakah akan sesuatu, sehingga lupa diri dan mengabaikan aturan, norma, etika, dan hukum demi mencapai tujuannya.

Melik menggambarkan keinginan yang kuat atau berlebihan untuk memiliki sesuatu, didorong oleh nafsu yang tidak pernah puas. Nggendhong lali artinya “menggendong lupa” atau lupa diri. Orang yang memiliki sifat “melik” (sangat ingin memiliki), akan cenderung “nggendhong lali” (lupa akan segala hal).

Baca Juga  Abolisi Tom Lembong vs Amnesti Ebenezer: Jembatan Bangsa atau Jalan Kabur?

Secara singkat, “melik nggendhong lali” adalah peringatan bahwa keinginan yang berlebihan dapat membutakan seseorang dan membuatnya melakukan tindakan tercela.

Sampai di sini izinkan saya membayangkan (boleh ya membayangkan) alangkah eloknya bila para penjarah duit rakyat dengan kesadaran sendiri atau karena dorongan orangtuanya, terdorong untuk mengembalikan harta yang dijarahnya dari rakyat.

Namanya juga bayangan, tentu boleh dibantah dan dihapus sendiri bila apa yang dibayangkan terasa tidak masuk akal atau tak mungkin terwujud.

Ulasannya begini. Meski sama-sama dalam kerumunan, namun kerumunan dalam aksi kerusuhan berbeda banget dengan “kerumunan” para koruptor dan penjarah uang rakyat.

Orang santun di kerumunan yang berubah menjadi “beringas”, bukan karena mereka tiba-tiba menjadi orang jahat. Orang itu hanya kehilangan identitas diri termasuk pengendalian diri. Individu merasa dirinya anonim, tidak dikenal. Keramaian saja sudah cukup membuatnya merasa tidak bisa diidentifikasi.

Rasa takut tersangkut memudar karena dia bukan lagi “Joko, remaja santun dari keluarga Pak RT”. Ia hanya satu titik dalam lautan manusia. Anonimitas ini mengurangi rasa tanggung jawab pribadi. “Toh tidak ada yang tahu saya siapa”.

Kerumunan Koruptor

Di negeri kita pernah populer sebutan korupsi berjamaah. Artinya korupsi rame-rame. Sudah dianggap lazim, lumrah, sudah umum, sudah dilakukan oleh banyak orang. Para penjahat ini sudah membentuk kerumunan. “Kerumunan” para koruptor dan penjarah uang rakyat.

Mestinya dalam keadaan normal, orang terus-menerus memantau perilakunya sesuai dengan norma dan nilai yang dipegangnya. Namun ketika penjarahan harta rakyat dilakukan secara kelaziman, fokus perhatian beralih dari diri sendiri ke peristiwa dan tindakan di sekitar. Akibatnya, kontrol diri dari dalam melemah.

Baca Juga  Figur yang Layak, Amanah, dan Jujur, Adalah Pilihan Warga Muhammadiyah

Emosi dan perilaku dalam kerumunan menyebar sangat cepat, seperti virus. Hasrat untuk menjarah ditularkan dari satu orang ke orang lain secara hampir tidak sadar.

Jika koruptor bergerak untuk menjarah, sugestinya adalah: “ini boleh dilakukan” atau “ini adalah kesempatan”. Jika si A bisa korupsi, mestinya saya pun bisa dan boleh.

Individu merasa bahwa tanggung jawab moral dan hukum atas tindakan korupnya menyebar. Persepsinya adalah, “Jika semua orang melakukannya, maka ini tidak sepenuhnya salah saya.” atau “Saya hanya ikut-ikutan, bukan otaknya”.

Alhasil, ketika tanggung jawab dibagi, beban moral untuk setiap tindakan jahat menjadi sangat kecil bagi setiap individu. Mereka merasa bukanlah dia yang menjarah, tapi banyak orang juga menjarah. Bukan cuma saya yang korupsi, tapi lembaga ini memang korup.

Maka jangan heran jika tindak korup di negeri kita terus merebak. Terlebih ketika kesan pembiaran dan pemaafan juga menderu.

Parahnya, hampir selalu ada seorang yang memprovokasi. Seolah memberikan “izin” secara implisit yang lain untuk mengikuti tindakan korupnya. Tekanan untuk “jangan menyia-nyiakan kesempatan” pun mengalahkan suara hati nurani.

Tentu saja masih ada harapan. Fenomena pengembalian barang jarahan adalah bukti bahwa setelah kerumunan bubar dan anonimitas itu hilang dan mereka kembali ke rumah dan keluarga, identitas individu dan nilai-nilai moralnya kembali muncul. Bahkan seringkali disertai dengan penyesalan.

Pertanyaannya, bagaimana dengan jamaah atau kerumunan yang sudah melembaga? Kapan kesadaran individu bisa kembali. Bagaimana dengan orang tua (baca: pimpinan) lembaga yang justru menjadi provokator tindak kejahatan?!?

*) Artikel ini sudah tayang di media afiliasi-MU, PWMU.Co

*) Penulis: Zainal Arifin Emka
Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *